we

zwani.com myspace graphic comments
www.TwitterBackgrounds.org
SELAMAT DATANG DI BLOG NUR SETYA WATY

Rabu, 15 Mei 2013

Kumpulan Dongeng Nusantara


Kakrico

 


Shallu sangat mencintai istrinya, Rawina. Apa saja yang diinginkan istrinya ia berusaha menurutinya. Meski untuk itu Shallu harus bekerja keras sebagai penjual buah keliling. Sampai suatu hari istrinya meminta Shallu untuk berganti pekerjaan.
“Aku ingin kau jadi pejabat istana, suamiku,” pinta Rawina.
“Mengapa harus jadi pejabat istana?” tanya Shallu bingung.
“Tadi siang aku pergi ke pasar. Tapi pasar itu ditutup untuk umum selama   beberapa waktu karena ada istri pejabat istana yang sedang berbelanja. Hal ini sudah seringkali terjadi,” cetus Rawina dengan nada iri.
          Shallu yang malang terpaksa berpikir keras untuk mewujudkan keinginan istrinya. Keesokan harinya ia membeli tikar, dupa, buku-buku ramalan, dan seperangkat alat yang biasa digunakan para tukang ramal lainnya. Kemudian ia menggelar perabotannya tak jauh dari gerbang istana.
            Kebetulan saat itu, sang Ratu yang hendak mandi menyuruh seorang dayangnya untuk menyimpan anting-antingnya di tempat aman. Dayang yang tahu bahwa dirinya sering pelupa, menyimpannya di lubang tembok kamarnya. Tak lupa ia menyimpan sehelai rambut sebagai tanda di lubang itu.
Namun kesibukan dayang itu membuat lupa. Maka ketika sang Ratu bertanya tentang anting-antingnya, dayang itu kalang kabut mencarinya. Masalahnya, anting-anting itu adalah perhiasan kesayangan ratu. Hukuman terberat bisa saja ditimpakan padanya.
Dayang pelupa itu berusaha kabur dari istana. Tapi di pintu gerbang ia melihat seorang peramal tengah duduk serius. Dayang itu berharap peramal itu dapat membantunya.
“Saya dalam bahaya, Pak. Saya lupa tempat menyimpan anting-anting Ratu. Jika Bapak dapat mengingatkan saya tempatnya, saya akan berterimakasih sekali,” kata dayang itu.
Peramal itu tidak lain adalah Shallu. Ia sedang melamun saat dayang itu datang. Diingatnya wajah istrinya yang cantik. Yang membuatnya jatuh cinta kepadanya adalah rambut istrinya yang panjang dan hitam mengkilat. “Ya, rambut itu … rambut itu,” gumam Shallu.
Dayang itu terkejut mendengar kata-kata Shallu. Ia segera teringat lobang tembok yang ditandai rambutnya. Segera saja ia kembali ke istana setelah mengucapkan terimakasih. Dicarinya anting-anting milik Ratu. Sambil menyerahkan anting-anting Ratu, dayang itu langsung menceritakannya kepada baginda Raja.
Tidak berapa lama kemudian Shallu pun diminta untuk bekerja di istana. Ia diangkat Raja sebagai peramal istana. Rawina merasa bangga dengan pengangkatan itu. Namun Shallu malah menjadi cemas, karena ia memikirkan akibat yang harus ditanggungnya jika Raja mengetahui hal sebenarnya.
Beberapa hari setelah Shallu menjadi peramal istana, Raja memanggilnya untuk sebuah tugas. Shallu diminta menangkap pencuri yang telah mengambil sejumlah perhiasan milik Ratu.
“Aku memberimu waktu tujuh hari. Jika gagal, kau dan istrimu akan dihukum,” titah Raja.
Shallu semakin bingung. Jika hukuman itu untuknya saja, bukan masalah. Tapi ia tidak mau istrinya ikut dihukum. Akhirnya begitu tiba di rumah ia hanya dapat menyerahkan tujuh butir kacang yang dimasukkannya ke dalam botol kepada istrinya
“Berikan padaku satu butir kacang setiap malam menjelang tidur. Sehingga aku ingat, pada kacang terakhir nanti kita harus pergi meninggalkan negeri ini keesokan harinya,” kata Shallu.
Rawina hanya dapat mengangguk sambil menahan tangis. Ia mulai mengerti betapa dirinya terlalu serakah. Permintaannya membuat ia dan suaminya dalam keadaan bahaya.
Tanpa mereka duga, jumlah kawanan pencuri perhiasan istana itu berjumlah tujuh orang. Mereka juga mendengar perintah sang Raja kepada Shallu. Maka untuk mengetahui kehebatan Shallu, kawanan pencuri itu menyelidiki tempat kediaman Shallu.
Pada malam harinya salah seorang pencuri naik ke atap rumah dan mendengar percakapan Shallu dan Rawina tentang pencurian di istana. Sambil bicara, Rawina menyerahkan biji kacang kepada Shallu.
“Suamiku, ini yang pertama,” katanya sambil mengingatkan Shallu.
Shallu memperhatikan biji kacang di tangannya. “Ya, yang pertama. Sangat hitam,” sahut Shallu.
Rupanya pencuri itu mengartikannya lain. Dia mengira Shallu dan istrinya mengetahui kedatangannya. Segera saja ia berlari menemui pimpinan pencuri.
“Bos, rupanya peramal itu sudah mengetahui kita. Bahkan ia tahu warna kulitku segala,” kata pencuri yang berkulit hitam itu.
            Pimpinan pencuri itu menyuruh anak buahnya mendatangi Shallu. Semuanya bertambah yakin akan kehebatan Shallu. Hingga akhirnya pimpinan pencuri itu datang sendiri ke rumah Shallu. Pada saat itu pula Rawina memberikan biji kacang yang ketujuh.
“Ya, inilah yang terakhir. Dan ini yang terbesar di antara lainnya,” komentar Shallu.
Pimpinan pencuri itu merasa panik mendengarnya. Dengan cepat ia kemudian keluar dari persembunyiannya dan bersujud di kaki Shallu. “Maafkan kami. Tuan. Kami berjanji tidak akan mencuri. Kami akan mengembalikan perhiasan yang kami curi. Tapi tolong bebaskan kami,” kata pemimpin pencuri itu.
Shallu sangat terkejut dengan kejadian itu. Ia masih belum menyadarinya sampai kawanan pencuri itu mengembalikan seluruh perhiasan yang mereka curi. Baginda Raja sangat terkesan dengan kehebatan Shallu meski pencuri itu tidak ditangkap. Ia memberikan Shallu hadiah.
Sehari kemudian Rawina meminta Shallu agar mereka berkata terus terang kepada Raja karena mereka kini selalu merasa cemas. Shallu kembali berpikir keras untuk keluar dari istana. Satu-satunya jalan adalah ia pura-pura menjadi gila!
Maka siang harinya ia sengaja keluar dari kamar mandi tanpa berpakaian lengkap. Sambil berlari ia menuju ruang singgasana Raja. Tentu saja orang-orang bingung melihat tingkahnya. Apalagi ketika kemudian Shallu menggendong baginda Raja.
Tapi lagi-lagi, keajaiban terjadi. Tiba-tiba atap di atas singgasana Raja roboh. Beberapa orang tewas seketika, namun baginda Raja selamat karena digendong oleh Shallu.
“Dia benar-benar pejabat istana yang setia. Mengetahui Raja akan celaka, dia keluar dari kamar mandi meski belum selesai berpakaian untuk menyelamatkan Raja,” seluruh rakyat membicarakan kehebatan Shallu.
Raja semakin sayang terhadap Shallu. Namun demikian Shallu dan Rawina memutuskan untuk berterus terang sehingga Raja pun menyadari bahwa tidak ada satu hal pun yang dapat diramalkan oleh manusia. Shallu tetap diangkat menjadi pejabat istana. Jabatannya bukan sebagai peramal, melainkan penasihat Raja.

(SELESAI)



Keong Mas
Cicy Kasih

 



Raja Kertamarta adalah raja dari Kerajaan Daha. Raja mempunyai 2 orang putri, namanya Dewi Galuh dan Candra Kirana yang cantik dan baik. Candra
 kirana sudah ditunangkan oleh putra mahkota Kerajaan Kahuripan yaitu Raden Inu Kertapati yang baik dan bijaksana.
Tapi saudara kandung Candra Kirana yaitu Galuh Ajeng sangat iri pada Candra kirana, karena Galuh Ajeng menaruh hati pada Raden Inu kemudian Galuh Ajeng menemui nenek sihir untuk mengutuk candra kirana. Dia juga memfitnahnya sehingga candra kirana diusir dari Istana ketika candra kirana berjalan menyusuri pantai, nenek sihirpun muncul dan menyihirnya menjadi keong emas dan membuangnya kelaut. Tapi sihirnya akan hilang bila keong emas berjumpa dengan tunangannya.
Suatu hari seorang nenek sedang mencari ikan dengan jala, dan keong emas terangkut. Keong Emas dibawanya pulang dan ditaruh di tempayan. Besoknya nenek itu mencari ikan lagi dilaut tetapi tak seekorpun didapat. Tapi ketika ia sampai digubuknya ia kaget karena sudah tersedia masakan yang enak-enak. Sinenek bertanya-tanya siapa yang memgirim masakan ini.
Begitu pula hari-hari berikutnya sinenek menjalani kejadian serupa, keesokan paginya nenek pura-pura kelaut ia mengintip apa yang terjadi, ternyata keong emas berubah menjadi gadis cantik langsung memasak, kemudian nenek menegurnya ” siapa gerangan kamu putri yang cantik ? ” Aku adalah putri kerajaan Daha yang disihir menjadi keong emas oleh saudaraku karena ia iri kepadaku ” kata keong emas, kemudian candra kirana berubah kembali menjadi keong emas. Nenek itu tertegun melihatnya.
Sementara pangeran Inu Kertapati tak mau diam saja ketika tahu candra kirana menghilang. Iapun mencarinya dengan cara menyamar menjadi rakyat biasa. Nenek sihirpun akhirnya tahu dan mengubah dirinya menjadi gagak untuk mencelakakan Raden Inu Kertapati. Raden Inu Kertapati Kaget sekali melihat burung gagak yang bisa berbicara dan mengetahui tujuannya. Ia menganggap burung gagak itu sakti dan menurutinya padahal raden Inu diberikan arah yang salah. Diperjalanan Raden Inu bertemu dengan seorang kakek yang sedang kelaparan, diberinya kakek itu makan. Ternyata kakek adalah orang sakti yang baik Ia menolong Raden Inu dari burung gagak itu.
Kakek itu memukul burung gagak dengan tongkatnya, dan burung itu menjadi asap. Akhirnya Raden Inu diberitahu dimana Candra Kirana berada, disuruhnya raden itu pergi kedesa dadapan. Setelah berjalan berhari-hari sampailah ia kedesa Dadapan Ia menghampiri sebuah gubuk yang dilihatnya untuk meminta seteguk air karena perbekalannya sudah habis. Tapi ternyata ia sangat terkejut, karena dari balik jendela ia melihatnya tunangannya sedang memasak. Akhirnya sihirnya pun hilang karena perjumpaan dengan Raden Inu. Tetapi pada saat itu muncul nenek pemilik gubuk itu dan putri Candra Kirana memperkenalkan Raden Inu pada nenek. Akhirnya Raden Inu memboyong tunangannya keistana, dan Candra Kirana menceritakan perbuatan Galuh Ajeng pada Baginda Kertamarta.
Baginda minta maaf kepada Candra Kirana dan sebaliknya. Galuh Ajeng mendapat hukuman yang setimpal. Karena takut Galuh Ajeng melarikan diri kehutan, kemudian ia terperosok dan jatuh kedalam jurang. Akhirnya pernikahan Candra kirana dan Raden Inu Kertapatipun berlangsung. Mereka memboyong nenek dadapan yang baik hati itu keistana dan mereka hidup bahagia.

SELESAI















Wahyu Setyorini

 






Pada jaman dahulu, ada seorang gadis kecil yang tinggal di dekat hutan. Pada saat dia keluar dia selalu menggunakan kerudung merah. Jadi semua orang di desanya  memanggilnya gadis berkerudung merah.

Suatu pagi, gadis berkerudung merah berkata keada ibunya bahwa dia ingin pergi mengunjungi rumah neneknya.

"Itu ide yang bagus" kata mamanya. Mereka juga membawa beberapa makanan ringan  yang di taruh dalam keranjang untuk neneknya.

          "Ingat, jalan terus, jangan berlengah-lengah di jalan, dan jangan berbicara dengan orang asing! hutannya sangat berbahaya!"
Tetapi saat gadis berkerudung merah melihat beberapa bunga di taman, dia lua akan janjinya. Tiba-tiba, serigala muncul di sampingnya.
 "Apa yang kamu lakukan gadis kecil ??" Tanya serigala
"Aku sedang dalam erjalanan mengunjungi rumah nenek saya!" Jawab Gadis berkerudung merah, dan ketika gadis berkerudung merah sadar bahwa dia bisa terlambat sampai ke rumah neneknya. Gadis berkerudung merah langsun cepat-cepat berpamitan kepada serigala.

          Sementara itu, serigala mengambil jalan pintas agar bisa sampai di rumah nenek sebelum gadis berkerudung merah.
'Tok tok tok' serigala mengetuk pintu
"Silahkan masuk sayang, saya sudah khawatir sesuatu terjadi padamu, di hutan !" Kata nenek mengira yang mengetuk pintu adalah cucunya.

          Malangnya, nenek tidak punya waktu untuk mengatakan satu kata patahpun serigala langsung masuk dan melahap sang nenek.
Beberapa menit kemudian gadis berkerudung merah datang dan mengetuk pintu 'Tok tok tok'
"Siapa itu ?" Serigala bertanya sambil menirukan suara sang nenek
"Ini aku gadis berkerudung merah"
"Oh, sayangku! kemarilah, nenek sudah menunggumu dari tadi!"
Lalu gadis berkerudung merah masuk ke dalam gubuk .
"Nenek...., Kenapa suaramu asing, apakah nenek sedang sakit?" Tanya gadis berkerudung merah,
"Oh, aku hanya sedang tidak enak badan!"
"Tapi nenek, mengapa kamu mempunyai telinga yang besar?"
"Tentu saja agar bisa mendengar suaramu yang indah dengan baik!"
"Tapi nenek, Mengapa kamu mempunyai mata yang besar ?"
"Tentu saja agar bisa melihatmu dengan baik sayang!"
"Tapi nenek, mengapa kamu mempunyai gigi yang besar dan runcing ?"
"Tentu saja untuk memakanmu!hahahaaha" serigalapun berjalan dan mengejar gadis kecil itu.
Hampir terlambat, Gadis berkerudung merah menyadari, bahwa orang tua yang diatas tempat tidur  bukan neneknya, akan tetapi serigala yang lapar.
Gadis berkerudung merahpun berlari keluar dari ruangan dan menutup pintu. "Tolong, tolong ada serigala" teriak gadis berkerudung merah.
Seorang tukang kayupun mendengar suaranya dan berlari ke arah guuk secepat dia bisa dan bertanya kepada gadis berkerudung merah,
"Di mna serigala itu??"
"Itu, itu dia ada di dalam gubuk nenek dan melahap nenek saya!"
Akhirnya tukang kayupun langsung masuk kedalam gubuk dan menembak sang serigala, juga mengeluarkan nenek dari perut serigala, lalu gadis berkerudung merahpun makan siang dan mengobrol bersama nenek.





Itik Buruk Rupa
Hans Christian Andersen

 

Dahulu kala, adalah sekelompok bebek yang tinggal di tepi sungai. Mereka terdiri terdiri dari Pak Bebek, Ibu Bebek, dan telur-telur bebek yang sedang dierami oleh Ibu Bebek. Suatu hari telur-telur itu menetas satu persatu. Pak Bebek senang bukan main, Ibu Bebek pun demikian. Sambil memperhatikan telur-telur yang menetas satu persatu, ia pun tersenyum dan memeluk satu persatu anak bebek yang sudah lahir itu. Namun pada telur yang terakhir menetas, yang keluar bentuknya sangat berbeda dengan saudara-saudaranya. Bila Ibu dan Pak Bebek berwarna kuning keemasan dan berparuh oranye serta berbunyi “Kweek..kweek..” maka anak bebek yang terakhir ini berbulu kehitaman dan berparuh kecoklatan, wajahnya tidak secantik saudara-saudaranya, dan suaranya pun berbeda, “Ooork..ooork…”
Pak dan Ibu bebek pun bertengkar hebat. Pak bebek merasa anak itu adalah hasil perselingkuhan Ibu bebek dengan mahluk lain, sedangkan Ibu bebek tidak terima dituduh seperti itu. Pak bebek pun pergi meninggalkan Ibu bebek. Sementara itu si bebek kecil yang buruk rupa tadi pun diejek oleh saudara-saudaranya yang lain.
Namun demikian, si bebek kecil yang buruk rupa itu tetap mengikuti kemanapun induknya pergi, walaupun induknya tidak pernah sekalipun memperhatikannya. Semakin besar, semakin berbedalah dia dengan saudara-saudaranya yang lain, dan hal ini sangat memalukan bagi Ibu bebek. Apalagi si bebek buruk rupa ini ternyata tidak bisa berenag sebaik saudara-saudaranya yang lain. Pada suatu hari, saat sedang berenang bersama Ibu dan saudara-saudaranya, sang bebek buruk rupa ini tertinggal jauh di belakang.. Ia kemudian memanggil-manggil ibunya dengan suaranya yang jelek itu, namun tidak ada sahutan..
Akhirnya ia pun berenang menyusuri sungai untuk mencari keluarganya kembali, berhari-hari ia lalui tanpa menyerah, hujan angin ia terpa tanpa kenal lelah, hingga akhirnya ia benar-benar putus asa dan menangis sedih di sudut sungai… Tangisannya begitu meyayat hati, ia masih begitu kecil, belum mengerti mengapa ibunya meninggalkannya dan tidak pernah sayang padanya, padahal ia anaknya.. mengapa langit begitu kejam padanya… mengapa… tangisnya..
Tak lama, datanglah dua ekor bebek yang ajaibnya, sama buruknya dengan bebek buruk rupa itu, bahkan suaranya pun juga sama! Mereka mendatangi bebek kecil yang sedang menangis itu dan menghiburnya. Tak lama, datanglah induk mereka yang mencari kedua anaknya yang tiba-tiba menghilang, dan terlihatlah oleh bebek buruk rupa itu seekor angsa yang sangat cantik.. lehernya panjang… dan wajahnya menyiratkan kasih dan sayang…
Begitu melihat bebek buruk rupa itu, ia pun bertanya padanya:
“Wahai mahluk kecil,mengapa engkau menangis?”
“Saya kehilangan induk saya…” jawab si bebek sambil menangis.. “Induk saya tidak mau saya lagi..karena saya berbeda dengan saudara-saudara saya.. mereka cantik-cantik dan pandai berenang seperti saudara-saudara saya yang lain.. waktu baru lahir, saya sudah dibenci oleh ibu saya, karena saya tidak seperti mereka…dia tidak pernah menyayangi saya… katanya saya bukanlah anaknya…karena bulu saya tidak kuning keemasan seperti mereka… paruh saya tidak sama warnanya dengan mereka.. dan suara saya sangat jelek…Ibu selalu berkata bahwa saya adalah bebek yang salah lahir..”
“Wahai mahluk kecil, jangan menangis… memang benar kata Ibu kamu, kamu berbeda dengan saudara-saudaramu yang lain.. mereka memiliki apa yang tidak kamu miliki…dan sebaliknya kamu juga memiliki apa yang tidak mereka miliki…
Nah, sekarang lihatlah air yang mengalir di bawahmu, pandanglah wajahmu… lihatlah persamaan antara dirimu dan anak-anakku…”
Sang itik pun melihat pantulan dirinya sendiri di air dan mendapati bahwa dirinya ternyata sama dengan kedua anak itik tersebut…
“Ya… kamu bukanlah anak bebek… kamu adalah anak itik… memang saat ini rupamu buruk, tetapi aku yakin kelak kamu akan menjadi secantik aku… kemarilah nak, anggaplah aku ini Ibumu…”
Sang itik kecil itupun mendekati induk Angsa yang cantik dan merasakan kehangatan dibawah pelukan sayapnya yang penuh dengan kasih… ia pun tak lagi bersedih…
Kemudian sang itik kecil pun ikut bersama dengan induk angsa kemanapun mereka berenang, sekarang sebagai itik yang bangga, karena ia mempunyai keluarga yang menyayanginya… dan pada suatu kesempatan, ia berpapasan dengan keluarga bebek yang pernah membencinya, ia pun berasa bangga saat melewati mereka… dan anak-anak bebek itupun hanya terbengong-bengong saja melihatnya.
SELESAI









Alibaba dan 40 Penyamun
Aliyah Tsuraya

 
Dahulu kala, dikota Persia, hidup 2 orang bersaudara yang bernama Kasim dan Alibaba. Alibaba adalah adik Kasim yang hidupnya miskin dan tinggal didaerah pegunungan. Ia mengandalkan hidupnya dari penjualan kayu bakar yang dikumpulkannya. Berbeda dengan abangnya, Kasim, seorang yang kaya raya tetapi serakah dan tidak pernah mau memikirkan kehidupan adiknya.
Suatu hari, ketika Alibaba pulang dari mengumpulkan kayu bakar, ia melihat segerombol penyamun yang berkuda. Alibaba segera bersembunyi karena takut jika ia terlihat, ia akan dibunuh. Dari tempat persembunyiannya, Alibaba memperhatikan para penyamun yang sedang sibuk menurunkan harta rampokannya dari kuda mereka. Kepala penyamun tiba-tiba berteriak, "Alakazam ! Buka…..". Pintu gua yang ada di depan mereka terbuka perlahan-lahan. Setelah itu mereka segera memasukkan seluruh harta rampokan mereka. "Alakazam ! tutup… " teriak kepala penyamun, pintu gua pun tertutup.
Setelah para penyamun pergi, Alibaba memberanikan diri keluar dari tempat sembunyinya. Ia mendekati pintu gua tersebut dan meniru teriakan kepala penyamun tadi. "Alakazam! Buka….." pintu gua yang terbuat dari batu itu terbuka. "Wah… Hebat!" teriak Alibaba sambil terpana sebentar karena melihat harta yang bertumpuk-tumpuk seperti gunung. "Gunungan harta ini akan Aku ambil sedikit, semoga aku tak miskin lagi, dan aku akan membantu tetanggaku yang kesusahan". Setelah mengarungkan harta dan emas tersebut, Alibaba segera pulang setelah sebelumnya menutup pintu gua. Istri Alibaba sangat terkejut melihat barang yang dibawa Alibaba. Alibaba kemudian bercerita pada istrinya apa yang baru saja dialaminya. "Uang ini sangat banyak… bagaimana jika kita bagikan kepada orang-orang yang kesusahan.." ujar istri Alibaba. Karena terlalu banyak, uang emas tersebut tidak dapat dihitung Alibaba dan istrinya. Akhirnya mereka sepakat untuk meminjam kendi sebagai timbangan uang emas kepada saudaranya, Kasim. Istri Alibaba segera pergi meminjam kendi kepada istri Kasim. Istri Kasim, seorang yang pencuriga, sehingga ketika ia memberikan kendinya, ia mengoleskan minyak yang sangat lengket di dasar kendi.
Keesokannnya, setelah kendi dikembalikan, ternyata di dasar kendi ada sesuatu yang berkilau. Istri Kasim segera memanggil suaminya dan memberitahu suaminya bahwa di dasar kendi ada uang emas yang melekat. Kasim segera pergi ke rumah Alibaba untuk menanyakan hal tersebut. Setelah semuanya diceritakan Alibaba, Kasim segera kembali kerumahnya untuk mempersiapkan kuda-kudanya. Ia pergi ke gua harta dengan membawa 20 ekor keledai. Setibanya di depan gua, ia berteriak "Alakazam ! Buka…", pintu batu gua bergerak terbuka. Kasim segera masuk dan langsung mengarungkan emas dan harta yang ada didalam gua sebanyak-banyaknya. Ketika ia hendak keluar, Kasim lupa mantra untuk membuka pintu, ia berteriak apa saja dan mulai ketakutan. Tiba-tiba pintu gua bergerak, Kasim merasa lega. Tapi ketika ia mau keluar, para penyamun sudah berada di luar, mereka sama-sama terkejut. "Hei maling! Tangkap dia, bunuh!" teriak kepala penyamun. "Tolong… saya jangan dibunuh", mohon Kasim. Para penyamun yang kejam tidak memberi ampun kepada Kasim. Ia segera dibunuh.
Istri Kasim yang menunggu dirumah mulai kuatir karena sudah seharian Kasim tidak kunjung pulang. Akhirnya ia meminta bantuan Alibaba untuk menyusul saudaranya tersebut. Alibaba segera pergi ke gua harta. Disana ia sangat terkejut karena mendapati tubuh kakaknya sudah terpotong. Setibanya dirumah, istri Kasim menangis sejadi-jadinya. Untuk membantu kakak iparnya itu Alibaba memberikan sekantung uang emas kepadanya. Istri Kasim segera berhenti menangis dan tersenyum, ia sudah lupa akan nasib suaminya yang malang. Alibaba membawa tubuh Kasim ke tukang sepatu untuk menjahitnya kembali seperti semula. Setelah selesai, Alibaba memberikan upah beberapa uang emas.
Dilain tempat, di gua harta, para penyamun terkejut, karena mayat Kasim sudah tidak ada lagi. "Tak salah lagi, pasti ada orang lain yang tahu tentang rahasia gua ini, ayo kita cari dan bunuh dia!" kata sang kepala penyamun. Merekapun mulai berkeliling pelosok kota. Ketika bertemu dengan seorang tukang sepatu, mereka bertanya,"Apakah akhir-akhir ini ada orang yang kaya mendadak ?". "Akulah orang itu, karena setelah menjahit mayat yang terpotong, aku menjadi orang kaya". "Apa! Mayat! Siapa yang memintamu melakukan itu?" Tanya mereka. "Tolong antarkan kami padanya!". Setelah menerima uang dari penyamun, tukang sepatu mengantar mereka ke rumah Alibaba. Si penyamun segera memberi tanda silang dipintu rumah Alibaba. "Aku akan melaporkan pada ketua, dan nanti malam kami akan datang untuk membunuhnya," kata si penyamun. Tetangga Alibaba, Morijana yang baru pulang berbelanja melihat dan mendengar percakapan para penyamun.
Malam harinya, Alibaba didatangi seorang penyamun yang menyamar menjadi seorang pedagang minyak yang kemalaman dan memohon untuk menginap sehari dirumahnya. Alibaba yang baik hati mempersilakan tamunya masuk dan memperlakukannya dengan baik. Ia tidak mengenali wajah si kepala penyamun. Morijana, tetangga Alibaba yang sedang berada diluar rumah, melihat dan mengenali wajah penyamun tersebut. Ia berpikir keras bagaimana cara untuk memberitahu Alibaba. Akhirnya ia mempunyai ide, dengan menyamar sebagai seorang penari. Ia pergi kerumah Alibaba untuk menari. Ketika Alibaba, istri dan tamunya sedang menonton tarian, Morijana dengan cepat melemparkan pedang kecil yang sengaja diselipkannya dibajunya ke dada tamu Alibaba.
Alibaba dan istrinya sangat terkejut, sebelum Alibaba bertanya, Morijana membuka samarannya dan segera menceritakan semua yang telah dilihat dan didengarnya. "Morijana, engkau telah menyelamatkan nyawa kami, terima kasih". Setelah semuanya berlalu, Alibaba membagikan uang peninggalan para penyamun kepada orang-orang miskin dan yang sangat memerlukannya.

SELESAI












Timun Emas
Renny Yaniar

 



Pada zaman dahulu, hiduplah sepasang suami istri petani. Mereka tinggal di sebuah desa di dekat hutan. Mereka hidup bahagia. Sayangnya mereka belum saja dikaruniai seorang anak pun.
Setiap hari mereka berdoa pada Yang Maha Kuasa. Mereka berdoa agar segera diberi seorang anak. Suatu hari seorang raksasa melewati tempat tinggal mereka. Raksasa itu mendengar doa suami istri itu. Raksasa itu kemudian memberi mereka biji mentimun.
“Tanamlah biji ini. Nanti kau akan mendapatkan seorang anak perempuan,” kata Raksasa. “Terima kasih, Raksasa,” kata suami istri itu. “Tapi ada syaratnya. Pada usia 17 tahun anak itu harus kalian serahkan padaku,” sahut Raksasa. Suami istri itu sangat merindukan seorang anak. Karena itu tanpa berpikir panjang mereka setuju.
Suami istri petani itu kemudian menanam biji-biji mentimun itu. Setiap hari mereka merawat tanaman yang mulai tumbuh itu dengan sebaik mungkin. Berbulan-bulan kemudian tumbuhlah sebuah mentimun berwarna keemasan.
Buah mentimun itu semakin lama semakin besar dan berat. Ketika buah itu masak, mereka memetiknya. Dengan hati-hati mereka memotong buah itu. Betapa terkejutnya mereka, di dalam buah itu mereka menemukan bayi perempuan yang sangat cantik. Suami istri itu sangat bahagia. Mereka memberi nama bayi itu Timun Mas.
Tahun demi tahun berlalu. Timun Mas tumbuh menjadi gadis yang cantik. Kedua orang tuanya sangat bangga padanya. Tapi mereka menjadi sangat takut. Karena pada ulang tahun Timun Mas yang ke-17, sang raksasa datang kembali. Raksasa itu menangih janji untuk mengambil Timun Mas.
Petani itu mencoba tenang. “Tunggulah sebentar. Timun Mas sedang bermain. Istriku akan memanggilnya,” katanya. Petani itu segera menemui anaknya. “Anakkku, ambillah ini,” katanya sambil menyerahkan sebuah kantung kain. “Ini akan menolongmu melawan Raksasa. Sekarang larilah secepat mungkin,” katanya. Maka Timun Mas pun segera melarikan diri.
Suami istri itu sedih atas kepergian Timun Mas. Tapi mereka tidak rela kalau anaknya menjadi santapan Raksasa. Raksasa menunggu cukup lama. Ia menjadi tak sabar. Ia tahu, telah dibohongi suami istri itu. Lalu ia pun menghancurkan pondok petani itu. Lalu ia mengejar Timun Mas ke hutan.
Raksasa segera berlari mengejar Timun Mas. Raksasa semakin dekat. Timun Mas segera mengambil segenggam garam dari kantung kainnya. Lalu garam itu ditaburkan ke arah Raksasa. Tiba-tiba sebuah laut yang luas pun terhampar. Raksasa terpaksa berenang dengan susah payah.
Timun Mas berlari lagi. Tapi kemudian Raksasa hampir berhasil menyusulnya. Timun Mas kembali mengambil benda ajaib dari kantungnya. Ia mengambil segenggam cabai. Cabai itu dilemparnya ke arah raksasa. Seketika pohon dengan ranting dan duri yang tajam memerangkap Raksasa. Raksasa berteriak kesakitan. Sementara Timun Mas berlari menyelamatkan diri.
Tapi Raksasa sungguh kuat. Ia lagi-lagi hampir menangkap Timun Mas. Maka Timun Mas pun mengeluarkan benda ajaib ketiga. Ia menebarkan biji-biji mentimun ajaib. Seketika tumbuhlah kebun mentimun yang sangat luas. Raksasa sangat letih dan kelaparan. Ia pun makan mentimun-mentimun yang segar itu dengan lahap. Karena terlalu banyak makan, Raksasa tertidur.
Timun Mas kembali melarikan diri. Ia berlari sekuat tenaga. Tapi lama kelamaan tenaganya habis. Lebih celaka lagi karena Raksasa terbangun dari tidurnya. Raksasa lagi-lagi hampir menangkapnya. Timun Mas sangat ketakutan. Ia pun melemparkan senjatanya yang terakhir, segenggam terasi udang. Lagi-lagi terjadi keajaiban. Sebuah danau lumpur yang luas terhampar. Raksasa terjerembab ke dalamnya. Tangannya hampir menggapai Timun Mas. Tapi danau lumpur itu menariknya ke dasar. Raksasa panik. Ia tak bisa bernapas, lalu tenggelam.
Timun Mas lega. Ia telah selamat. Timun Mas pun kembali ke rumah orang tuanya. Ayah dan Ibu Timun Mas senang sekali melihat Timun Mas selamat. Mereka menyambutnya. “Terima Kasih, Tuhan. Kau telah menyelamatkan anakku,” kata mereka gembira.
Sejak saat itu Timun Mas dapat hidup tenang bersama orang tuanya. Mereka dapat hidup bahagia tanpa ketakutan lagi.
SELESA








Suatu ketika, terdapat sebuah kerajaan yang diperitah seorang raja yang bijaksana. Namanya Raja Henry. Raja Henry yang telah tua itu ingin segera turun takhta.
Raja Henry memiliki seorang anak bernama Pangeran Arthur. Putra mahkota itu baik hati, bertanggung jawab, serta bijaksana. Ia juga dekat dengan rakyat. Itu sebabnya ia sangat cocok untuk memerintah kerajaan itu. Tetapi sayangnya ia belum beristeri. Padahal salah satu syarat untuk menjadi raja di kerajaan itu, pangeran harus memiliki isteri.
Kesibukan di istana pun dimulai. Seluruh anggota kerajaan sibuk mencarikan wanita yang cocok untuk Pangeran. Tapi, tak satu pun wanita yang dapat membuat Pangeran Arthur jatuh cinta. Selalu saja ada kekurangannya di mata Pangeran Arthur.
Pada suatu hari, datanglah seorang pemuda pengembara. Ia datang ke kerajaan dan menemui Pangeran yang sedang melamun di taman istana.
“Selamat pagi Pangeran Arthur!” sapa sang pengembara.
“Selamat pagi. Siapakah kau?” tanya Pangeran Arthur.
“Aku pengembara biasa. Namaku Theo. Kudengar, Pangeran sedang bingung memilih calon isteri?” tanya Theo.
“Ya, aku bingung sekali. Semua wanita yang dikenalkan padaku, tidak ada yang menarik hati. Ada yang cantik, tapi berkulit hitam. Ada yang putih, tetapi bertubuh pendek. Ada yang bertubuh semampai, berwajah cantik, tetapi tidak bisa membaca. Aduuh!” keluh Pangeran dengan wajah bingung.
“Hmm, bagaimana kalau kuajak Pangeran berjalan-jalan sebentar. Siapa tahu di perjalanan nanti Pangeran bisa menemukan jalan keluar,” ajak Theo sambil memandang wajah Pangeran yang tampak letih.
“Ooh, baiklah,” jawab Pangeran sambil melangkah. Mereka berdua lalu berjalan-jalan ke luar istana.
Theo mengajak Pangeran ke daerah pantai. Disana mereka berbincang-bincang dengan seorang nelayan. Tak lama kemudian nelayan itu mengajak pangeran dan Theo ke rumahnya.
“Isteriku sedang memasak ikan bakar yang lezat. Pasti Pangeran menyukainya,” ujar si nelayan.
Setibanya di rumah nelayan, terciumlah aroma ikan bakar yang sangat lezat. Mereka duduk di teras rumah nelayan itu. Tak lama kemudian keluarlah istri nelayan menghidangkan ikan bakar.
Istri nelayan itu bertubuh pendek. Ketika sang istri masuk ke dalam, Theo bertanya, “Wahai Nelayan! Mengapa engkau memilih istri yang bertubuh pendek?”
Nelayan itu tersenyum lalu menjawab, “Aku mencintainya. Lagipula, walau tubuhnya pendek, hatinya sangat baik. Ia pun pandai memasak.”
Theo dan Pangeran Arthur mengangguk-angguk mengerti. Selesai makan, mereka berterima kasih dan melanjutkan perjalanan.
Kini Theo dan Pangeran Arthur sampai di rumah seorang petani. Disana mereka menumpang istirahat. Rumah Pak Tani sangat bersih. Tak ada sedikit pun debu. Mereka beberapa saat bercakap dengan Pak Tani. Lalu keluarlah isteri Pak Tani menyuguhkan minuman dan kue-kue kecil. Bu Tani bertubuh sangat gemuk.
Pipinya tembam dan dagunya berlipat-lipat. Setelah Bu Tani pergi ke sawah, Theo pun bertanya, “Pak Tani yang baik hati. Mengapa kau memilih isteri yang gemuk?”
Pak Tani tersenyum dan menjawab dengan suara bangga, “Ia adalah wanita yang rajin. Lihatlah, rumahku bersih sekali bukan? Setiap hari ia membersihkannya dengan teliti. Lagipula, aku sangat mencintainya.”
Pangeran dan Theo mengangguk-angguk mengerti. Mereka lalu pamit, dan berjalan pulang ke Istana. Setibanya di Istana, mereka bertemu seorang pelayan dan isterinya. Pelayan itu amat pendiam, sedangkan isterinya cerewet sekali. Theo kembali bertanya,
“Pelayan, mengapa kau mau beristerikan wanita secerewet dia?”
Pelayan menjawab sambil merangkul isterinya, “Walau cerewet, dia sangat memperhatikanku. Dan aku sangat mencintainya”.
Theo dan Pangeran mengangguk-angguk mengerti. Lalu berjalan dan duduk di tepi kolam istana. Pangeran berkata pada Theo,
“Kini aku mengerti. Tak ada manusia yang sempurna. Begitu pula dengan calon isteriku. Yang penting, aku mencintainya dan hatinya baik.”
Theo menarik nafas lega. Ia lalu membuka rambutnya yang ternyata palsu. Rambut aslinya ternyata panjang dan keemasan. Ia juga membuka kumis dan jenggot palsunya. Kini di hadapan Pangeran ada seorang puteri yang cantik jelita. Puteri itu berkata,
“Pangeran, sebenarnya aku Puteri Rosa dari negeri tetangga. Ibunda Pangeran mengundangku ke sini. Dan menyuruhku melakukan semua hal tadi. Mungkin ibundamu ingin menyadarkanmu…”
          Pangeran sangat terkejut tetapi kemudian berkata,
“Akhirnya aku dapat menemukan wanita yang cocok untuk menjadi isteriku”. Mereka berdua akhirnya menikah dan hidup bahagia selamanya.
(SELESAI)





Peri Ikan

 

Dahulu ada orang yang bernama Mahomet, yang hidup sebagai nelayan dengan menangkap ikan dan menjualnya. Suatu hari dia menderita sakit keras dan tidak mempunyai harapan lagi untuk sembuh, hingga sebelum dia meninggal, dia berpesan kepada istrinya bahwa istrinya harus tidak pernah membuka rahasia kepada anak laki-laki satu-satunya yang saat itu masih sangat kecil bahwa selama ini mereka hidup dari hasil penjualan ikan.
Ketika nelayan itu meninggal dan waktu terus berlalu hingga anaknya beranjak dewasa dan mulai berpikir untuk mendapatkan pekerjaan. Dia telah mencoba banyak hal, tetapi dia tidak pernah berhasil. Setelah ibunya juga meninggal, anak itu akhirnya menjadi sendirian dan hidup dalam kemiskinan, tanpa makanan dan uang. Suatu hari dia masuk ke gudang rumahnya, berharap bahwa dia akan menemukan sesuatu untuk dijual.
Dalam pencariannya, dia menemukan jala ayahnya. Dengan melihat jala ini, dia akhirnya sadar bahwa semasa muda, ayahnya adalah seorang nelayan. Lalu dia mengambil jala itu keluar dan pergi ke laut untuk menangkap ikan. Karena kurang terlatih, dia hanya dapat menangkap dua buah ikan, dimana yang satu dijualnya untuk membeli roti dan kayu bakar. Ikan yang satunya lagi dimasak dengan kayu bakar yang dibelinya tadi, dan dimakannya, saat itu dia memutuskan untuk menjadi nelayan.
Suatu hari dia menangkap seekor ikan yang sangat cantik sehingga dia tidak rela untuk menjual atau memakannya sendiri. Dia lalu membawanya pulang ke rumah, menggali sebuah sumur kecil, dan menempatkan ikan tersebut disana. Kemudian dia lalu tidur karena kelelahan dan kelaparan dan berharap bahwa keesokan harinya dia dapat bangun lebih pagi dan menangkap ikan yang lebih banyak.
Keesokan hari, saat pergi menangkap ikan dan pulang di malam hari, dia mendapati rumahnya menjadi sangat bersih dan telah di sapu selama dia tidak berada di sana. Dia menyangka bahwa tetangganya datang dan membersihkan rumahnya, dan atas kebaikan tetangganya membersihkan rumahnya, dia berdoa agar tetangganya tersebut mendapat berkah dari Tuhan.
Keesokan harinya, dia bangun seperti biasa, dengan gembira dia menengok ikannya yang ada di sumur kecil dan pergi untuk bekerja lagi. Pada saat pulang di malam hari, dia kembali menemukan bahwa rumahnya menjadi bersih dan rapih. Kemudian dia menghibur dirinya sendiri dengan memandangi ikannya, lalu pergi ke kedai dimana disana dia berpikir, siapa kira-kira yang telah merapihkan rumahnya. Saat sedang berpikir, salah seorang temannya bertanya, apa yang dipikirkannya. Dan anak nelayan tersebut menceritakan semua kisahnya. Akhirnya temannya berkata bahwa dia harus mengunci rumahnya sebelum berangkat dan membawa kuncinya, hingga tidak ada orang yang bisa masuk ke dalam.
Anak nelayan tersebut akhrnya pulang ke rumah, dan keesokan harinya, dia pura-pura akan keluar bekerja. Dia membuka pintu dan menutupnya kembali, kemudian dia bersembunyi di dalam rumah. Saat itu juga dia melihat ikannya meloncat keluar dari sumur dan menggoyangkan dirinya, berubah menjadi besar dan akhirnya kulit ikan menjadi terkelupas dan anak nelayan tersebut melihat seorang wanita yang sangat cantik jelita. Dengan cepat anak nelayan itu mengambil kulit ikan yang terkelupas tadi dan membuangnya ke dalam perapian.
"Kamu seharusnya tidak melakukan hal itu," kata wanita itu, "Tapi apa boleh buat, yang terjadi biarlah terjadi dan tidak usah dipermasalahkan lagi."
Setelah terbebas, wanita tersebut dilamar oleh si anak nelayan dan wanita tersebut menyetujui lamarannya, segala persediaan telah di buat untuk pernikahan mereka. Semua yang melihat wanita itu menjadi kagum dan terpana oleh kecantikannya dan mereka berbisik-bisik bahwa wanita tersebut lebih pantas menjadi pengantin seorang Padishah (Sultan). Kabar ini dengan cepat menyebar ke telinga Padishah, lalu Padishah memerintahkan agar wanita tersebut di bawa ke hadapannya. Saat Padishah melihat wanita yang sangat cantik jelita itu, dia langsung jatuh cinta, dan bertujuan untuk menikahinya.
Karena itu dia menemui anak nelayan tersebut dan berkata "Jika dalam empat-puluh hari kamu bisa membangunkan saya istana dari emas dan permata di tengah-tengah lautan, saya tidak akan mengambil wanita yang akan kamu nikahi itu, tetapi apabila kamu gaga, saya akan mengambilnya dan membawanya pergi." Lalu anak nelayan itu pulang ke rumah dengan hati sedih dan menangis. "Mengapa kamu menangis?" tanya wanita yang merupakan peri ikan itu. Anak nelayan tersebut lalu menceritakan apa yang diperintahkan oleh Padishah, tetapi wanita itu berkata dengan gembira: "Jangan menangis, kita bisa menyelesaikannya. Pergilah ke tempat dimana kamu pernah menangkap saya semasa menjadi ikan dan lemparkan sebuah batu ke tempat itu. Sesosok jin akan muncul dan mengucapkan kata 'apa perintahmu?' Katakan bahwa seorang wanita mengirimkan salam untuknya dan meminta sebuah bantal. Dia akan memberikannya dan lemparkan bantal tersebut ke laut dimana Padishah menginginkan istananya di bangun. Kemudian kembalilah ke rumah."
Anak nelayan tersebut mengikuti semua petunjuk, dan pada hari berikutnya, ketika dia melihat ke depan dimana bantal tersebut dilemparkan dilaut, dia melihat sebuah istana yang lebih indah dari apa yang Padishah gambarkan dan minta. Dengan gembira mereka cepat-cepat menyampaikan ke istana bahwa tempat tersebut telah di bangun.
Padishah menjadi terkejut, tetapi karena tujuan Padishah sendiri bukanlah istana itu melainkan untuk memisahkan anak nelayan dengan wanita yang diidam-idamkannya, Padishah atau Sultan tersebut memberi perintah pada anak nelayan itu untuk membuatkan jembatan dari Kristal menuju ke istananya. Selanjutnya anak nelayan itu pulang dan menangis sedih kembali. Saat wanita yang sebenarnya adalah Peri Ikan tersebut melihatnya bersedih dan mendengarkan keluhan dari anak nelayan tersebut, dia berkata: "Pergilah ke tempat sesosok jin seperti sebelumnya, dan mintalah padanya sebuah bantal guling, Ketika kamu sudah mendapatkannya, buanglah ke tempat dimana istana itu berada." Kemudian anak nelayan tersebut melakukan apa yang disuruhkan oleh calon istrinya dan begitu berbalik, dia melihat sebuah jembatan yang indah dari kristal. Dia kemudian menemui Padishah dan memberitahu bahwa tugasnya telah selesai.
Padishah merasa tidak puas kemudian memerintahkan anak nelayan itu menyiapkan perjamuan yang besar hingga seluruh penduduk dapat makan disana dan harus masih ada makanan yang tersisa. Seperti sebelumnya, anak nelayan itu pulang dan menceritakan hal itu kepada calon istrinya. Mendengar perintah dari Padishah kepada anak nelayan tersebut, dia berkata "Pergilah kembali ke tempat sesosok jin tadi, dan mintalah penggilingan kopi dari dia, tetapi hati-hatilah agar jangan sampai menumpahkannya dalam perjalanan." Anak nelayan itu kemudian berhasil mengambil penggilingan kopi dari jin tanpa mengalami kesulitan. Tetapi saat membawanya pulang, dengan ceroboh dia menumpahkannya, hingga tujuh dari delapan piring terjatuh keluar dari penggilingan kopi. Dia lalu memungutnya dan membawanya pulang.
Pada hari yang telah ditentukan, semua penduduk yang harus datang menurut undangan dari Padishah, menuju ke rumah anak nelayan tersebut dan mengambil bagian dalam perjamuan besar tersebut. Walaupun semua tamu dapat makan sekenyang-kenyangnya, masih juga banyak makanan yang tersisa. Anak nelayan tersebut berhasil memenuhi tugasnya kembali.
Karena keras kepala, Padishah memerintahkan kembali anak nelayan itu untuk menghasilkan seekor keledai dari sebuah telur. Anak nelayan tersebut memberi tahu wanita calon istrinya itu, apa saja yang diperintahkan oleh Padishah, dan wanita tersebut memberi tahu dia bahwa dia harus memberikan tiga telur ke sosok Jin di tengah laut kemudian membawanya pulang kembali tanpa memecahkannya. Anak Nelayan kemudian melakukan apa yang disuruhkan oleh wanita itu, tetapi di tengah jalan pulang, dia menjatuhkan satu biji telur dan memecahkannya. Dari telur tersebut, meloncatlah keluar seekor keledai besar, yang akhirnya lari dan menceburkan dirinya ke laut sampai tidak kelihatan lagi.
Anak nelayan tersebut tiba di rumah dengan aman dan membawa dua buah telur yang tersisa. "Mana yang ketiga?" tanya wanita itu kepadanya. "Pecah di perjalanan," katanya. "Kamu seharusnya lebih berhati-hati," kata wanita itu, "tapi apa yang telah terjadi, biarlah terjadi."
Kemudian anak nelayan membawa telur-telur itu ke Padishah, dan meminta agar dia diijinkan naik ke atas sebuah bangku untuk melemparkan telur tersebut di lantai. Padishah mengijinkannya dan anak nelayan tersebut lalu berdiri diatas bangku dan melemparkan telur ke lantai. Saat itu seekor keledai yang besar meloncat keluar dari telur yang pecah dan jatuh ke atas Padishah yang langsung mencoba menghindar untuk menyelamatkan diri. Anak nelayan itu kemudian menyelamatkan Padishah dari bahaya, dan keledai yang tadi lalu berlari keluar dan menceburkan dirinya ke dalam laut.
Dengan rasa putus asa, Padishah atau sultan tadi mencari-cari hal yang mustahil dan yang tidak mungkin dapat di kerjakan oleh anak nelayan. Dia lalu meminta agar anak nelayan tersebut membawakan dia anak bayi yang umurnya sehari tetapi sudah dapat berbicara dan berjalan.
Wanita calon istri anak nelayan kemudian menyuruh anak nelayan tersebut ke sesosok jin di tengah laut dan membawakan hadiah-hadiah dari wanita itu, dan memberitahunya bahwa dia berharap dapat melihat kemenakannya yang masih bayi. Anak nelayan itu kemudian pergi ke tengah laut dan memanggil sosok jin itu dan menyampaikan pesannya. Sosok Jin itu berkata, "Dia masih berumur beberapa jam, ibunya mungkin tidak mau memberikannya, tapi, tunggulah sebentar, saya akan mencoba menanyakannya."
Singkat kata, jin tersebut pergi dan segera muncul kembali dengan bayi yang baru lahir ditangannya. Ketika anak nelayan tersebut melihat anak bayi itu, anak bayi itu berlari ke pangkuannya dan berkata "Kita akan ke bibi saya ya?" Anak nelayan mengiyakan dan membawa anak bayi itu ke rumah, dan ketika bayi tersebut melihat wanita itu, dia berteriak "Bibi!" dan memeluknya. Anak nelayan kemudian membawa bayi itu ke hadapan Padishah.
Saat bayi tersebut dibawa ke hadapan Padishah, bayi tersebut naik ke pangkuan Padishah dan memukul wajahnya, dan berkata: "Bagaimana mungkin orang dapat membangun istana dari emas dan permata dalam empat-puluh hari? membangun jembatan dari kristal juga dalam waktu yang sama? Bagaimana satu orang bisa memberi makan seluruh penduduk yang ada di kerajaan ini? Bagaimana mungkin keledai dapat dimunculkan dari sebuah telur?" setiap kalimat yang meluncur dari mulut sang bayi diiringi dengan tamparan keras ke wajah Padishah, hingga akhirnya Padishah berkata kepada anak nelayan bahwa dia boleh menikahi wanita itu bila dia dapat menjauhkan Padishah dari bayi yang menampari wajahnya terus menerus. Anak nelayan tersebut pulang sambil menggendong bayi itu ke rumah, kemudian menikahi wanita itu dan mengadakan pesta selama empat puluh hari empat puluh malam.





 

Alkisah, pada jaman dahulu kala, Sang Unta bisa berbicara dengan manusia, suatu hari Sang Unta diajak majikan-nya pergi mengembara, melintasi gurun gurun gersang yang sangat panas pada siang hari dan dingin menusuk pada malam hari.
Malam itu, Sang Unta tidur di luar tenda, sedangkan majikannya tidur nyenyak di dalam.
Tengah malam, Sang Unta membangunkan majikannya, dia bilang  ” Tuan, saya kedinginan, ijinkanlah saya menitipkan UJUNG KAKI saya masuk ke dalam tenda”.
Sang majikan tidak keberatan, ujung kaki tidak akan mengganggu dia sama sekali. Satu jam kemudian, Sang Unta kembali berkata :”Tuan, saya sangat kedinginan, ijinkanlah KAKI DEPAN saya berada dalam tenda agar besok bisa kuat berjalan membawa tuan di atas punggung saya”.
“Benar juga”, pikir si majikan, maka dia kembali memberikan ijinnya.
Satu jam kemudian Sang Unta berkata :”Hidung saya mulai ber-air, besok saya akan sakit dan tidak bisa membawa Tuan di atas punggung saya, ijinkanlah KEPALA saya berada dalam tenda, saya rasa besok saya akan kuat kembali “.
Begitulah jam demi jam, hingga akhirnya pada pagi harinya Sang Unta sedang tidur nyenyak di dalam tenda sedangkan tuannya menggigil kedinginan di luar tenda.




Si Pelit
 

Seorang yang sangat pelit mengubur emasnya secara diam-diam di tempat yang dirahasiakannya di tamannya. Setiap hari dia pergi ke tempat dimana dia mengubur emasnya, menggalinya dan menghitungnya kembali satu-persatu untuk memastikan bahwa tidak ada emasnya yang hilang. Dia sangat sering melakukan hal itu sehingga seorang pencuri yang mengawasinya, dapat menebak apa yang disembunyikan oleh si Pelit itu dan suatu malam, dengan diam-diam pencuri itu menggali harta karun tersebut dan membawanya pergi.
Ketika si Pelit menyadari kehilangan hartanya, dia menjadi sangat sedih dan putus asa. Dia mengerang-erang sambil menarik-narik rambutnya.
Satu orang pengembara kebetulan lewat di tempat itu mendengarnya menangis dan bertanya apa saja yang terjadi.
"Emasku! oh.. emasku!" kata si Pelit, "seseorang telah merampok saya!"
"Emasmu! di dalam lubang itu? Mengapa kamu menyimpannya disana? Mengapa emas tersebut tidak kamu simpan di dalam rumah dimana kamu dapat dengan mudah mengambilnya saat kamu ingin membeli sesuatu?"
"Membeli sesuatu?" teriak si Pelit dengan marah. "Saya tidak akan membeli sesuatu dengan emas itu. Saya bahkan tidak pernah berpikir untuk berbelanja sesuatu dengan emas itu." teriaknya lagi dengan marah.
Pengembara itu kemudian mengambil sebuah batu besar dan melemparkannya ke dalam lubang harta karun yang telah kosong itu.
"Kalau begitu," katanya lagi, "tutup dan kuburkan batu itu, nilainya sama dengan hartamu yang telah hilang!"

SELESAI













Putri yang Sempurna

 



Dahulu kala, ada seorang pangeran yang menginginkan seorang Putri Raja, tetapi Putri tersebut haruslah sempurna. Dia kemudian melakukan perjalanan mengelilingin dunia hanya untuk mencari putri tersebut, tetapi dia selalu menemukan bahwa ada sesuatu yang tidak sempurna pada setiap Putri Raja yang ditemuinya. Dia menemukan banyak Putri Raja, tapi tak ada yang benar-benar dianggap sempurna oleh Pangeran itu. Dengan putus asa akhirnya dia pulang kembali ke istananya dan merasa sangat sedih karena tidak menemukan apa yang dicarinya.
Suatu malam, terjadi hujan badai yang sangat keras; dimana kilat dan guntur beserta hujan turun dengan deras sekali; malam itu sungguh menakutkan.
Ditengah-tengah badai tiba-tiba seseorang mengetuk pintu istana, dan ayah Pangeran yang menjadi Raja waktu itu, sendiri keluar membuka pintu untuk tamu tersebut.
Seorang Putri yang sangat cantik berdiri di luar pintu, kedinginan dan basah kuyup karena badai pada malam itu. Air mengalir dari rambut dan pakaiannya yang masih basah; mengalir turun ke kaki dan sepatunya. Putri tersebut mengaku bahwa dia adalah Putri yang sempurna.
"Kita akan segera mengetahui apakah yang dikatakan oleh Putri tersebut benar atau tidak," pikir sang Ratu, tetapi dia tidak berkata apa-apa. Dia masuk ke dalam kamar tidur, mengeluarkan seprei yang mengalas tempat tidur yang akan dipakai oleh sang Putri dan menaruh sebutir kacang polong di atas tempat tidur itu. Kemudian dia mengambil dua puluh kasur dan meletakkannya di atas sebutir kacang tersebut. Malam itu sang Putri tidur di atas ranjang tersebut. Di pagi hari, mereka menanyakan apakah sang Putri tidur nyenyak di malam itu.
"Oh saya sangat susah tidur!" kata sang Putri, "Saya sangat sulit untuk memejamkan mata sepanjang malam! Saya tidak tahu apa yang ada pada ranjang itu, saya merasa berbaring di atas sesuatu yang kasar, dan seluruh tubuh saya pegal-pegal dan memar di pagi ini, sungguh menakutkan!"
Raja dan Ratu langsung tahu bahwa sang Putri ini pastilah putri yang benar-benar sempurna, karena hanya putri yang sempurna dapat merasakan sebutir kacang yang ditempatkan di bawah dua puluh kasur an dilapisi dengan dua puluh selimut. Hanya putri yang benar-benar sempurna mempunyai kulit yang begitu halus.
Pangeran kemudian mengambilnya sebagai istri, dan sekarang dia telah menemukan putri yang selama ini dicarinya.
SELESAI




 



Di sebuah desa pinggiran hutan, tinggallah seorang janda dengan anak gadisnya yang cantik. Meski berwajah rupawan, gadis itu amat rendah diri. Ia malu karena warna kulitnya sering berubah-ubah. Kalau duduk di atas rumput, kulitnya menjadi hijau. Kalau makan sawo, kulitnya berwarna coklat. Terkena sinar matahari pagi, kulitnya akan menjadi kuning. Gadis itu paling merasa sedih jika ia berada di tempat gelap. Kulitnya seketika menjadi hitam legam. Karena warna kulitnya sering berubah-ubah, ia dijuluki Putri Warna-Warni.
Putri Warna-Warni bersahabat baik dengan seekor Bunglon. Dimana ada Putri Warna-Warni, di sebelahnya selalu ada sahabat karibnya itu. Mereka bersahabat karena memiliki nasib yang sama. Kulit mereka sering berubah-ubah.
Suatu hari, saat bulan purnama bersinar di langit, betapa cantiknya Putri Warna-Warni. Kulitnya putih bersih, berkilau ditimpa cahaya rembulan yang indah.
“Kamu cantik sekali dalam cahaya rembulan, Putri Warna-Warni. Kamu tak ubahnya seperti seorang putri kerajaan,” puji Bunglon sahabatnya.
Putri Warna-Warni tersipu mendengar pujian itu.
“Namun aku akan segera menjadi putri jelek kalau rembulan tak menyinari tubuhku,” kata Putri Warna-Warni sedih. Wajahnya nampak mendung.
“Jangan begitu Putri Warna-Warni. Kau tetap Putri yang baik hati meski kulitmu berubah menjadi merah, kuning, hijau ataupun biru. Hatimu yang mulia tak akan berubah hanya karena perubahan warna tersebut.”
Mendengar kalimat bunglon sahabatnya, Putri Warna-Warni amat terharu.
Tanpa mereka sadari, lewatlah seorang pangeran yang pulang kemalaman sehabis berburu. Ia amat terpesona dan takjub melihat kemolekan Putri Warna-Warni. Belum pernah dia melihat seorang putri secantik itu.
“Wahai Putri cantik, kau tak pantas tinggal di pinggir hutan yang sepi ini. Tinggallah di istanaku. Kau akan kuangkat jadi permaisuriku. Tunggulah tiga hari lagi, pengawalku akan menjemputmu dengan kereta yang ditarik empat ekor kuda putih.”
Hati Putri Warna-Warni berbunga-bunga mendengar perkataan sang pangeran. Sebentar lagi ia akan menjadi permaisuri. Tak lagi hidup miskin, dan tak perlu tinggal di pinggir hutan lagi. Namun si bunglon sangat sedih, karena merasa akan ditinggal sendiri.
Kegembiraan Putri Warna-Warni sampai terbawa ke mimpinya. Ia bermimpi pesta pernikahannya berlangsung selama tujuh hari tujuh malam. Ada berbagai macam hiburan. Berbagai macam makanan dan minuman dihidangkan. Namun sang pangeran tampak kecewa setelah tahu warna kulit permaisurinya berubah-ubah terus. Kadang terlihat cantik, kadang terlihat jelek.
Mimpi itu membuat Putri Warna-Warni gelisah. Keesokan harinya, kembali bermimpi. Seorang pertapa sakti muncul di hadapannya. Pertapa itu berkata,
“Mudah sekali menyembuhkan perubahan warna kulitmu itu Putri Warna-Warni. Makanlah daging Bunglon sahabatmu itu. Maka kulitmu akan normal kembali.
           Putri Warna-Warni menceritakan mimpinya itu kepada Bunglon sahabatnya. Si Bunglon malah tersenyum mendengarnya, dan berkata,
“Mimpiku juga sama dengan mimpimu, Putri Warna-Warni. Seorang pertapa sakti memintaku untuk bersedia memberikan tubuhku buat kesembuhanmu. Aku bersedia membantumu, Putri! Asal hidupmu bahagia bersama Pangeran itu,” ujar Bunglon tulus.
Putri Warna-Warni termenung.
“Ayo, Putri Warna-Warni. Nanti malam, bakarlah tubuhku untuk hidangan makan malammu,” lagi-lagi Bunglon itu menawarkan diri.
Putri Warna-Warni terharu.
“Tidak, Bunglon sahabatku. Aku tidak mau meraih kebahagiaan dengan mengorbankan dirimu. Kau adalah sahabatku yang terbaik. Besok kalau pengawal pangeran itu datang, biarlah kutolak ajakannya. Aku tidak mau menjadi permaisuri. Biarlah aku menjadi Putri Warna-Warni seperti ini saja. Asal kau tetap disampingku, Bunglon sahabatku.”
Dua sahabat itu akhirnya berangkulan bahagia.
(SELESAI)






Kak Rico

 



Dahulu kala di Jepang, hiduplah seorang pemuda bernama Hikaru. Kedua orang tua mereka telah lama meninggal. Hikaru sangat rajin membantu kakaknya menjual kayu di pasar. Tiap hari, ia masuk ke hutan untuk mencari kayu.
Suatu hari, saat ia berada di hutan, tiba-tiba terdengar rintihan kesakitan. Hikaru segera mencari asal suara itu. Dan, tampak seorang kakek tertindih dahan besar.
“Nak!” pinta si kakek saat melihat Hikaru. “Tolong aku! Aku sudah tak tahan lagi.”
Hikaru segera menolong kakek itu. Ia memakai sebatang kayu untuk mencungkil dahan pohon.
“Kek, aku akan menghitung sampai tiga. Pada hitungan ke tiga, Kakek lompat keluar ya!” Si kakek mengangguk.
Dengan sekuat tenaga, Hikaru mencungkil dahan besar itu. Akhirnya si kakek berhasil keluar.
“Kau sangat baik, Nak! Hadiah apa yang kau inginkan?” tanya si kakek gembira.
“Hho… hho,” Hikaru terengah-engah. “Tidak perlu, Kek. Aku ikhlas menolong.”
Kakek itu lalu mengambil sebuah gendang kecil dari kayu. Di kedua sisinya bergambar naga yang terbuat dari kulit kambing. Yang satu berlatar belakang warna kuning, yang satu lagi ungu.
“Aku hanya punya gendang ajaib ini. Terimalah!”
“Ajaib?” tanya Hikaru heran.
Tetapi pertanyaan tidak dijawab. Sang kakek langsung hilang sekejap mata.
“Hiii… hantuuu…” Ia berlari keluar hutan.
Esoknya Hikaru tak mau lagi ke hutan. Takut mengalami hal seperti kemarin. Sorenya, Hikaru tidur-tiduran di bukit belakang gubuknya. Ia termenung memikirkan bagaimana cara membantu kakaknya selagi tidak ke hutan. Mendadak terbayang wajah kakek yang pernah ditolongnya.
“Tak mungkin ia mencelakakanku. Aku kan pernah menolongnya,” pikir Hikaru lalu merogoh gendang pemberian si kakek dari tasnya. “Apa benar ini gendang ajaib?” Hikaru mengamati gendang itu.
Ia memukul sisi yang kuning. “Tidak terjadi apa-apa?”
Ia memukul sisi ungu satu kali. Tidak ada yang berubah. Dia memukul sisi ungu sekali lagi. Sekonyong-konyong hidungnya panjang.
“Aaah!” Hikaru kaget dan melepas gendang itu. “Hidungku! Kenapa panjang begini?” ia panik.
Ia meraih kembali gendang tadi. Dengan ragu ia memukul sisi kuning. Mendadak hidungnya yang panjang memendek. Akhirnya normal kembali. Hikaru lega.
“Ah, aku mengerti sekarang. Ini adalah Gendang Pemanjang Hidung yang ramai dibicarakan orang. Ah, asyik juga untuk mainan!”
Hikaru memanjangkan dan memendekkan hidung sambil tidur-tiduran. Ia mengarahkan hidungnya ke langit. Ia menabuh gendang itu bertalu-talu sampai hidungnya menembus awan. Setelah puas, ia memukul sisi kuning untuk menormalkan hidungnya.
“Lho, kok tidak bisa balik?!” serunya panik. Hari mulai gelap. Hikaru mencoba memukul gendang itu sebanyak mungkin. Sekonyong-konyong tubuhnya melesat cepat.
“Aaaah!” teriak Hikaru.
Beberapa saat kemudian, setelah menembus awan, ia melihat sebuah istana kecil di langit. Tubuhnya berhenti melesat dan hidungnya normal kembali. Namun ia melihat ada ikatan tali di ujung hidungnya. Rupanya ada seseorang yang mengikat hidungnya di sebuah tiang. Di dekat rumah itu ada pria berjanggut sedang menyiram air. “Hei!” seru Hikaru. “Kenapa kau mengikat hidungku?”
Orang itu tergopoh-gopoh menghampiri Hikaru.
“Oh, maaf. Aku tidak tahu itu hidungmu. Kukira itu tangga buatan dewa langit untuk turun ke bumi.”
“Jadi kau dewa, ya?” Hikaru mengamati orang itu.
“Betul, aku Dewa Hujan, ” ujarnya memperkenalkan diri.
“Kau siapa, manusia bumi?”
“Saya Hikaru!”
“Begini saja,” tawarnya. “Kamu tinggal di sini, membantuku memberi hujan pada penduduk bumi. Bagaimana?”
Setelah berpikir, Hikaru berkata, “Baiklah, Dewa. Tapi hanya untuk sementara kan. Soalnya aku harus membantu kakakku mencari nafkah.”
Esok siangnya, Hikaru mulai membantu Dewa menurunkan hujan ke bumi. “Aku mau menurunkan hujan di desaku!” pintanya pada Dewa. Sang Dewa mengangguk. Dari atas awan ia membuang air langit dengan baskom besar. “Horeee!” teriaknya ketika melihat penduduk di desanya kegirangan menyambut hujan. “Eh, itu kakakku!” serunya. Tampak kakaknya lari tunggang langgang menyelamatkan pakaian yang sedang dijemur.
Tiba-tiba, “Aaaaah!” karena kurang hati-hati, pijakan kakinya lepas dari awan. Hikaru terjatuh. Badannya melayang-layang di angkasa. Ia diterbangkan angin ke negeri yang jauh sekali.
Buuk! Hikaru jatuh tepat di atas jerami kandang kuda istana. “Waduh, sakit!” jeritnya. “Negeri apa, ini?” tanyanya dalam hati. Ia berjalan mengelilingi tempat itu.
Tiba-tiba tampak seorang putri cantik melintasi taman.
“Wah, cantik sekali dia!” Hikaru bersembunyi di balik pohon. “Andai ia jadi istriku!”
Hikaru mendapat akal. Ia mengambil gendangnya dan memukul sisi yang ungu. Seketika hidung sang putri menjadi panjang. Putri pun pingsan melihat hidungnya.
Sore itu juga, disebarkan pengumuman oleh kerajaan. Bunyinya, “Barang siapa yang bisa mengobati sakit putri, jika lelaki akan dijadikan suami, jika perempuan akan dijadikan sudara.”
Berbondong-bondong tabib datang ke istana. Akan tetapi semua menyerah. Salah seorang dukun berkata, “Ini hanya bisa disembuhkan dengan gendang ajaib.”
Hikaru lalu datang ke istana. Di pintu gerbang ia tidak diperbolehkan masuk ke istana. Penjaga gerbang menyangka Hiraku hanya bermain-main. Sebab tidak seperti tabib. Tetapi, setelah memperlihatkan gendangnya, ia lantas diperbolehkan masuk. Hikaru memukul sekali sisi kuning gendangnya. Hidung sang putri langsung memendek. Dan sesuai janji, raja menikahkan putrinya dengan Hikaru. Tentu saja Hikaru tak lupa menjemput kakaknya, dan mereka hidup bahagia di istana.

(SELESAI)





Wahyu SetyoRini



Di suatu kota, ada sebuah toko milik kakek Gepeto pembuat boneka. “Alangkah senangnya kalau boneka manis ini menjadi seorang anak.”
Setelah kakek berbisik demikian, terjadi satu keajaiban. “Selamat siang, Papa.” Boneka itu berbicara dan mulai berjalan. Dengan amat gembira, kakek berkata, “Mulai hari ini, engkau anakku. Kau kuberi nama Pinokio.” “Agar kau menjadi anak pintar, besok kau mulai sekolah , ya!”
Keesokan paginya, Kakek Gepeto menjual pakaiannya dan dengan uang itu ia membelikan Pinokio sebuah buku ABC. “Belajarlah baik-baik dengan buku ini!” “Terima kasih, Papa. Aku pergi sekolah, dan akan belajar dengan giat.” “Hati-hati ya!” pesan kakek.
Tetapi dari arah yang berlawanan dengan sekolahnya terdengar suara, “Drum, dum, dum, dum.” Ketika Pinokio mendekat ternyata itu adalah tenda sandiwara boneka. Pinokio lalu menjual buku ABC-nya, membeli karcis dengan uang itu dan masuk ke dalam. Di dalam tenda sandiwara, sebuah boneka anak perempuan akan telah dikepung prajurit berpedang. “Lihat! Jahat sekali prajurit itu…” Pinokio naik ke panggung, dan menerjang boneka prajurit. Tali boneka itu putus dan jatuhlah boneka itu. Pemilik sandiwara yang marah segera menangkap Pinokio dan akan melemparnya ke api. “Maafkan aku. Kalau aku dibakar, kasihan papa yang sudah tua,” kata Pinokio. “Aku berjanji pada papa untuk belajar di sekolah dengan rajin. Karena iba, pemilik sandiwara melepaskan Pinokio dan memberinya beberapa keping uang. “Gunakan uang ini untuk membeli buku-buku pelajaranmu,” kata pemilik sandiwara tersebut.
Kemudian Pinokio pergi untuk membeli buku. Tetapi di tengah jalan, Rubah dan Kucing melihat keadaan itu. Mereka menyapa Pinokio dengan ramah. “Selamat siang, Pinokio yang baik. Kalau uang emas itu bertambah banyak, pasti papamu lebih senang, ya!”
Bagaimana cara menambah uang emas ini?” Tanya pinokio. “Gampang. Kau bisa menanamnya di bawah pohon ajaib. Lalu tidurlah, maka pada saat kau bangun nanti, pohon itu akan berbuah banyak sekali uang emas.” Kemudian Pinokio diantar oleh Rubah dan Kucing, menanam uang emasnya di bawah pohon ajaib. Ketika Pinokio mulai tidur siang. Rubah dan Kucing menggali uang emas itu dan menggantung Pinokio di pohon, setelah itu mereka pergi.
Tolong…..” teriak Pinokio ketika sudah bangun dari tidurnya dan mengetahui dirinya tergantung di sebuah pohon. Seorang Dewi yang melihat keadaan Pinokio, mengutus burung elang untuk menolongnya. Burung elang membawa Pinokio dengan paruhnya, dan membawanya ke ruangan di mana Dewi telah menunggu. Dewi menidurkan Pinokio di tempat tidur dan memberinya obat.
Nah, minumlah obat ini maka kau akan cepat sembuh. Setelah itu pulang, ya!” kata Dewi. “Lebih baik mati daripada minum obat yang pahit.” Pinokio terus menolak. Akhirnya Dewi menjadi marah, “Plak plak!” Ia menampar. Lalu datanglah empat ekor kelinci yang menggotong peti mati. Pinokio terkejut sekali, cepat-cepat ia meminum obat yang pahit itu. “Pinokio, mengapa kau tidak pergi ke seolah?” Tanya Dewi. “Hmm.. di jalan, aku menjual buku-ku untuk anak miskin yang kelaparan dan membelikannya roti. Karena itu aku tidak bisa pergi ke sekolah….” Tiba-tiba saja “syuut” hidung Pinokio mulai memanjang. “Pinokio!” Kalau kau berbohong, hidungmu akan memanjang sampai ke langit.” “Maafkan aku. Aku tak akan berbohong lagi.” Pinokio meminta maaf. Dewi tersenyum, dan memerintahkan burung pelatuk mematuki hidung Pinokio, mengembalikannya ke bentuk semula. “Ayo cepat kembali ke rumah, dan belajar ke sekolah!”
Di tengah perjalanan pulang, Pinokio bertemu dengan kereta dunia bermain. Pinokio tidak bisa menahan diri untuk tidak naik. Pinokio telah lupa akan janjinya pada Dewi, setiap hari ia hanya bermain-main saja.
Ada suatu hari, Pinokio terkejut melihat wajahnya yang terpantuk di permukaan air. “Ah! Telingaku jadi telinga keledai! Aku pun berbuntut!” teriaknya. Ternyata anak-anak lain pun telah menjadi keledai. Akhirnya Pinokio pun menjadi seekor keledai dan dijual ke sirkus. Pinokio telah melanggar janjinya kepada Dewi, maka ia mendapat hukuman.
Setiap hari ia dipecut, dan harus melompati lingkaran api yang panas. Walaupun takut, Pinokio tetap meloncat. Akhirnya ia terjatuh sampai kakinya patah. Pemilik sirkus menjadi marah. “Keledai dungu! Lebih baik dibuang ke laut.” Kemudian Pinokio dilempar ke laut. “Blup blup blup” Pinokio tenggelam ke dasar laut, ikan-ikan datang menggigitnya. Lalu kulit keledai terlepas, dan dari dalamnya muncul si Pinokio. “Terima kasih ikan-ikan.” Sebenarnya Dewi melihat bahwa Pinokio telah menyadari kesalahannya dan memerintahkan ikan-ikan untuk menolongnya.
Sambil berenang, Pinokio berjanji dalam hati “Kali ini setelah aku pulang ke rumah aku akan ke sekolah dan belajar dengan giat. Aku juga akan membantu pekerjaan di rumah dan menjaga papa.” Pada saat itu “Hrrr…., seekor ikan hiu besar datang mendekat dengan suara yang menyeramkan. “Haaa…. Tolong.” Pinokio ditelan oleh ikan hiu yang besar itu. “Hap” Di dalam perut hiu benar-benar gelap gulita. Tetapi di kejauhan terlihat seberkas sinar. Ternyata itu adalah kakek Gepeto.
Papa!” “Pinokio!” Mereka berdua saling berpelukan. “Aku pergi ke laut untuk mencarimu, dan aku ditelan hiu ini. Tapi ternyata di sini aku bertemu denganmu. Untung kita selamat!”
Ayo,kita keluar dari sini!” “Badanku sudah lemah. Kau saja yang pergi.” “Aku tidak mau kalau tidak bersama-sama Papa.” Ketika ikan hiu sedang tidur, Pinokio melarikan diri dari mulut hiu dengan menggendong kakek Gepeto di punggungnya.
Dengan sekuat tenaga ia berenang sampai akhirnya tiba di pantai. Mereka menyewa sebuah pondok petani terdekat. Sambil merawat kakek, Pinokio bekerja setiap hari. Akhirnya kakek menjadi sehat kembali. “Pinokio, karena kaulah aku jadi sehat seperti ini. Terima kasih ya!”
Papa, mulai sekarang aku akan lebih menurut lagi.” Tiba-tiba saja sekeliling mereka menjadi bersinar terang,” Pinokio, kau telah menjadi seorang anak yang baik.” Dewi muncul, dan merubah Pinokio si boneka menjadi seorang anak manusia.
SELESAI






Bawang Merah Bawang Putih
Samsuni

 

Alkisah, di Kampung Dadapan, Yogyakarta, hidup sebuah keluarga kecil yang terdiri dari ayah, ibu, dan seorang anak gadis mereka yang bernama Bawang Putih. Meskipun sang ayah hanya pedagang kecil, keluarga kecil itu senantiasa hidup rukun, damai, dan bahagia. Namun sayang, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama karena sang ibu harus pergi untuk selama-lamanya akibat terserang penyakit yang menyebabkan nyawanya melayang. Kepergian sang ibu benar-benar membuat anggota keluarga yang ditinggalkan amat berduka, terutama Bawang Putih.
Sejak kehilangan sosok ibu yang begitu sayang kepadanya, Bawang Putih merasa amat kesepian dan kerap menyendiri di kamarnya. Untung di desa itu ada seorang janda bernama Mbok Randha yang sering berkunjung ke rumahnya untuk membawa makanan atau sekadar menemani Bawang Putih dan ayahnya mengobrol. Bahkan, ia kerap membantu Bawang Putih membersihkan rumah dan memasak.
Keberadaan Mbok Randha telah meringankan beban keluarga Bawang Putih. Hal itulah yang membuat ayah Bawang Putih tertarik untuk menikahi Mbok Randha agar putrinya tidak kesepian lagi. Sebagai ayah yang bijak, ia tidak mau bertindak sendiri dengan meminta pertimbangan kepada putri semata wayangnya.
“Bawang Putih, Putriku. Ayah melihat Mbok Randha adalah sosok ibu yang baik. Barangkali akan lebih baik jika ia menjadi anggota keluarga kita,” kata ayah Bawang Putih. “Bagaimana pendapatmu, Anakku?”
Bawang Putih memahami maksud ayahnya. Ia pun merasa bahwa kehadiran Mbok Randha dalam keluarganya akan membuat suasana menjadi ramai, sehingga dirinya tidak lagi kesepian. Apalagi Mbak Randha mempunyai seorang anak gadis yang bernama Bawang Merah dan sebaya dengannya. Dengan pertimbangan itu, Bawang Putih pun rela jika ayahnya menikah dengan Mbok Randha.
Setelah menikah, Mbok Randha bersama putrinya tinggal di rumah Bawang Putih. Pada mulanya, Mbok Randha dan Bawang Merah sangat baik kepada Bawang Putih, terutama saat ayahnya ada di rumah. Namun, setelah beberapa lama tinggal di rumah itu, sifat asli mereka yang kejam dan bengis mulai kelihatan. Ketika sang ayah sedang pergi berdagang, mereka kerap memarahi Bawang Putih dan memberinya pekerjaan berat. Bahkan, Mbok Randha tidak segan-segan menampar Bawang Putih jika sedang beristirahat barang sejenak pun untuk melepaskan lelah. Tidak hanya itu, setiap hari Bawang Putih hanya diperbolehkan makan sekali, itu pun berupa kerak nasi dengan air dan garam sebagai lauk.
Di sisi lain, Mbok Randha amat sayang dan memanjakan Bawang Merah sehingga semua pekerjaan rumah tangga dibebankan kepada Bawang Putih. Bahkan, Bawang Merah juga kerap memerintahnya. Ketika Bawang Putih sedang sibuk bekerja, ia dan ibunya hanya duduk-duduk santai dan sesekali mengawasi hasil pekerjaan Bawang Putih kalau-kalau ada yang kurang beres. Meskipun diperlakukan demikian, gadis yang malang itu tetap tabah menghadapinya.
Suatu hari, ayah Bawang Putih jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Sejak itulah, Bawang Merah dan ibunya semakin berkuasa dan semena-mena terhadap Bawang Putih. Setiap hari gadis malang itu seakan tidak pernah beristirahat. Ia harus bangun sebelum matahari terbit untuk menyiapkan segera keperluan mereka seperti menyiapkan air mandi dan sarapan untuk mereka, memberi makan ternak, membersihkan rumah, mencuci pakaian di sungai, dan pekerjaan rumah tangga lainnya.
Pada suatu pagi, seperti biasanya setelah usai membereskan rumah, Bawang Putih pergi ke sungai dengan membawa satu bakul pakaian untuk dicuci. Setiba di sungai, ia pun mulai mencuci pakaian kotor tersebut satu persatu. Namun, Bawang Putih tidak menyadari salah satu dari cuciannya hanyut terbawa arus. Celakanya, pakaian yang hanyut itu adalah baju kesayangan Bawang Merah. Ia baru menyadari hal itu setelah selesai mencuci. Dengan panik, Bawang Putih segera menyusuri sungai untuk mencari baju itu. Sudah jauh ia berjalan ke hilir, namun belum juga menemukannya.
“Aduh, matilah aku!” gumam Bawang Putih dengan cemas, “Apa jadinya nanti jika ibu tiriku dan Bawang Merah mengetahui hal ini?”
Bawang Putih benar-benar kebingungan. Karena hari sudah siang, ia pun memutuskan untuk segera pulang karena belum menyiapkan makan siang. Setiba di rumah, ia dengan ketakutan menceritakan kejadian yang baru saja dialami kepada ibu tirinya. Betapa murkanya Mbok Randha saat mendengar cerita itu. Ia pun segera mengambil rotan dan memukul Bawang Putih hingga tubuhnya berwarna merah dan lebam.
“Dasar, anak ceroboh! Cepat cari baju itu dan jangan kembali sebelum kau menemukannya!” hardik ibu tirinya yang kejam itu.
Bawang Putih dengan hati sedih terpaksa kembali ke sungai untuk mencari baju itu. Di sepanjang perjalanan, air mata gadis itu terus mengalir membasahi pipinya karena tidak kuat lagi menahan rasa sakit di seluruh badannya. Setiba di sungai, ia pun mencari baju itu mulai dari tempatnya mencuci tadi hingga ke hilir sungai. Sudah cukup jauh ia berjalan, namun belum juga menemukan baju itu. Meskipun demikian, ia terus menyusuri sungai hingga bertemu dengan seorang penggembala sedang memandikan kerbaunya.
“Permisi, Paman! Apakah paman melihat ada baju berwarna merah yang hanyut di sungai ini?” tanya Bawang Putih dengan sopan.
“Tidak, Nak. Coba kamu tanyakan pada orang yang sedang memancing itu,” ujar penggembala itu.
“Terima kasih, Paman,” ucap Bawang Putih seraya menghampiri orang yang sedang memancing di tepi sungai. Namun rupanya nelayan itu juga tidak melihat baju yang sedang dicari Bawang Putih.
Demikian Bawang Putih selalu bertanya kepada setiap orang yang ia temui di sepanjang aliran sungai itu dan tak seorang pun yang melihat baju itu. Hari sudah sore. Gadis itu terus menyusuri sungai dengan berjalan sempoyongan hingga akhirnya bertemu dengan seorang nenek yang sedang mencuci beras. Mulanya, Bawang Putih takut mendekati nenek itu karena tubuhnya amat besar. Rupanya, nenek itu adalah manusia raksasa. Namanya Nini Buto Ijo yang tinggal di pinggir sebuah hutan. Bawang Putih kemudian memberanikan diri untuk bertanya kepada nenek raksasa itu.
“Ma... maaf, Nek. Apakah nenek melihat baju yang hanyut di sungai ini?” tanya Bawang Putih dengan gugup.
“Apakah baju yang kamu cari itu warnanya merah kembang-kembang?” sang nenek balik bertanya.
“Benar, Nek,” jawab Bawang Putih, “Apakah nenek menemukannya?”
“Iya, Nduk Tadi kutemukan tersangkut di batu,” jawab nenek itu, “Sebaiknya kamu menginap di rumah nenek karena hari sudah gelap.”
Akhirnya, Bawang Putih menuruti ajakan nenek raksasa itu. Setiba di rumah nenek, ia diajak untuk membantu memasak.
“Aku akan mengembalikan bajumu, tapi dengan syarat kamu harus membantuku memasak,” ujar nenek.
“Baik, Nek,” jawab Bawang Putih menyanggupi.
Alangkah terkejutnya Bawang Putih karena peralatan memasak nenek amat mengerikan. Centongnya terbuat dari tulang tangan manusia dan gayungnya pun terbuat dari tulang-tulang. Meskipun agak sedikit ngeri, ia tetap memasak dengan tenang. Selain itu, ia juga membantu mengerjakan pekerjaan rumah nenek hingga larut malam.
Keesokan harinya, Bawang Putih pun mohon pamit kepada Nini Buto Ijo. Sesuai dengan janjinya, nenek itu mengembalikan baju Bawang Putih. Selain itu, sang nenek juga memberinya hadiah dengan menyuruh Bawang Putih memilih salah satu dari dua buah labu kuning yang ukurannya berbeda, satu berukuran besar sedangkan yang satunya berukuran kecil. Bawang Putih bukanlah gadis yang serakah sehingga ia hanya memilih labu yang lebih kecil.
“Terima kasih, Nek,” ucap Bawang Putih.
“Sama-sama, Nduk! Tapi ingat, kamu baru boleh membuka labu itu setelah kamu sampai di rumah,” ujar Nini.
“Baik, Nini,” jawab Bawang Putih seraya berpamitan.
Sesampai di rumahnya, Bawang Putih segera menyerahkan baju yang berhasil ditemukannya kepada Bawang Merah. Setelah itu, ia bergegas ke dapur untuk memasak sayur labu. Betapa terkejutnya ia setelah membelah buah itu. Ternyata, labu kuning itu berisi perhiasan emas permata. Ibu tirinya dan Bawang Merah yang mengetahui hal itu segera merampas perhiasan tersebut.
“Hai, Bawang Putih! Ceritakan bagaimana caramu bisa mendapatkan perhiasan sebanyak ini!” seru ibu tirinya dengan nada memaksa.
Bawang Putih pun menceritakan semua dengan sejujurnya. Setelah mendengar cerita itu, Mbok Randha segera memerintahkan putri kesayangannya Bawang Merah untuk melakukan hal yang sama.
Singkat cerita, Bawang Merah pun sampai di rumah Nini Buto Ijo. Saat disuruh memasak, ia tidak bisa melakukannya karena jijik menyentuh peralatan memasak si nenek yang semuanya terbuat dari tulang-tulang. Ia hanya bisa membantu mengerjakan pekerjaan rumah nenek yang lain, seperti menyapu dan mengepel. Itu pun dilakukannya dengan asal-asalan sehingga hasilnya pun tidak bersih.
Meski demikian, Nini Buto Ijo tetap akan memberinya hadiah. Bawang Merah pun disuruh memilih salah satu dari dua labu kuning yang ditawarkan oleh nenek. Karena sifatnya yang serakah, ia dengan cepat memilih labu yang besar. Setelah itu, ia segera pulang ke rumahnya dengan penuh harapan bahwa ia dan ibunya akan menjadi kaya raya karena mengira labu yang telah dipilihnya berisi lebih banyak perhiasan. Karena itu, Bawang Merah menjadi lupa diri. Jangankan berpamitan, berterima kasih kepada nenek itu pun tidak ia lakukan.
Setiba di rumah, Bawang Merah bersama ibunya segera membelah labuh itu. Begitu labu itu terbelah, bukannya perhiasan emas permata yang mereka dapatkan, melainkan binatang-binatang berbisa seperti ular, kalajengking, dan kelabang. Hewan-hewan beracun itu lantas menyerang ibu dan anak yang serakah itu hingga tewas. Akhirnya, Bawang Putih berhasil mendapatkan kembali semua perhiasan emas dan permatanya, kemudian menjualnya sedikit demi sedikit untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
SELESAI


















Suak Air Mengubuk
(Si Miskin Yang Tamak)
Adi Cita

 



Alkisah, pada zaman dahulu kala, di Negeri Rantau Baru, Pelalawan, Riau, hiduplah sepasang suami-istri yang sangat miskin. Penghasilan mereka yang sangat kecil tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Kadang makan kadang tidak. Pakaian pun hanya yang melekat di badanlah yang mereka miliki. Semakin hari kehidupan mereka semakin memprihatinkan.
Pada suatu malam, si Miskin bermimpi bertemu dengan seorang kakek. Kakek itu memberikan seutas tali kepadanya seraya berkata, “Besok pagi bawalah sampan besar ke sebuah suak yang tak jauh dari Sungai Sepunjung.” Belum sempat si Miskin menjawab, kakek itu tiba-tiba menghilang dari pandangannya. Si Miskin pun terjaga dari tidurnya. Ia mengusap-usap matanya tiga kali, seakan ia tak percaya yang baru saja dialaminya. “Apa maksud si kakek menyuruh saya ke suak itu?” tanya si Miskin dalam hati. Karena hari masih gelap, si Miskin pun melanjutkan tidurnya.
Keesokan harinya, si Miskin berangkat menuju suak seperti yang dikatakan si Kakek dalam mimpinya semalam. Tak lupa dibawanya sebuah sampan besar. Sambil mengayuh sampan, hati kecilnya terus bertanya-tanya, “Apakah ini pertanda nasib buruk saya akan segera berakhir?”. Pikiran-pikiran itu terus bergejolak dalam pikirannya. Tak terasa, sampailah si Miskin di tepi  Sungai Sepunjung. Ia pun duduk di dalam sampannya sambil menunggu sesuatu yang dijanjikan si Kakek itu. Sesekali ia bermain air dan bersiul menirukan bunyi burung yang berkicau di sekelilingnya. Wajahnya yang tertimpa cahaya matahari pagi terlihat cerah mengharap datangnya suatu keberuntungan.
Tak berapa lama kemudian, tiba-tiba si Miskin dikejutkan oleh seutas tali yang muncul dari dalam suak. Tanpa pikir panjang, ditariknya tali tersebut sekuat-kuatnya. Baru beberapa tarikan, sampailah ia pada ujung tali itu. Si Miskin tersentak kaget ketika ia melihat suatu benda yang berkilau-kilau ditimpa cahaya matahari. “Benar dugaanku, nasib burukku akan segera berakhir,” gumam si Miskin dengan senangnya, ketika ia melihat di ujung tali itu tedapat rantai emas tiga kaluk.
Tengah si Miskin menarik rantai itu, tiba-tiba dari atas pohon yang tak jauh dari tempat itu, terdengar pico seekor murai, “Potonglah cepat rantai itu! Hanya itu bagianmu!” Namun, si Miskin tidak menghiraukan picoan murai itu. Ia semakin cepat menarik tali itu dengan harapan akan mendapat rantai emas yang lebih banyak lagi. Dengan kekuatan yang dimilikinya, ia menarik tali itu terus, terus, dan terus.... tapi apa yang ditariknya itu semakin lama semakin terasa berat. Tiba-tiba muncul gelembung-gelembung air dari dalam sungai. Awalnya gelembung itu kecil, lama-kelamaan menjadi seperti gelombang. Tak dalam kemudian, terdengar suara gemuruh dari dalam air. Tanpa disadarinya, tiba-tiba gelombang besar muncul seperti bono dan langsung menghempas sampan si Miskin.
Tak ayal lagi, si Miskin pun terlempar keluar dari  sampan dan jatuh ke dalam air. Bersamaan dengan itu, sampannya hanyut dan akhirnya tenggelam terbawa arus sungai. Dengan sekuat tenaga, si Miskin berusaha berenang menuju tepi sungai melawan arus gelombang air yang besar itu. Ketika ia sudah sampai di tepi sungai, air sungai yang tadinya bergelombang kembali menjadi tenang seperti semula. Tapi gelembung air masih saja tampak di permukaan sungai itu.
Setelah selamat dari hempasan gelombang besar itu, si Miskin pun pulang ke gubuknya dengan tangan hampa. Karena kecapaian, ia pun segera tertidur lelap. Dalam tidurnya, ia bermimpi didatangi kakek itu lagi. “Hai, Miskin! Kamu memang tamak dan tidak pandai bersyukur. Mengapa rantai tiga kaluk itu tidak kau ambil? Bukankah sudah kuberi tahu lewat picoan murai?” ujar kakek itu.
“Maafkan saya Kek. Berilah saya kesempatan sekali lagi, saya berjanji tidak akan berbuat tamak lagi,” pinta si Miskin sambil menyembah-nyembah. “Apa boleh buat, Miskin! Kamu pantas menerima balasan itu atas ketamakanmu,” jawab si Kakek. Sesaat setelah berkata demikian, tiba-tiba kakek itu menghilang. Tak berapa lama, ayam jantan pun berkokok menandakan waktu subuh tiba. Si Miskin pun terbangun dari tidurnya.
Pagi-pagi sekali, si Miskin kembali lagi ke tempat kejadian kemarin. Ia berharap akan menemukan sesuatu di sana. Lama dia menanti di tepian, tapi ia tidak menemukan sesuatu yang diharapkannya. Di tepian, ia hanya duduk termangu melihat air suak itu mengubuk tak henti-hentinya. Setiap pagi si Miskin pergi ke tempat itu, karena masih berharap akan mendapatkan sesuatu dari sana. Namun, hanya air yang mengubuk itu yang ia temukan. Pepatah mengatakan “Menyesal kemudian tiadalah guna. Begitulah nasib si Miskin, ia  hanya bisa menyesali ketamakannya itu.
Hingga kini, suak air yang mengubuk itu masih dapat kita saksikan di hilir Desa Rantau Baru, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau, Indonesia.
SELESAI


Kamus kecil :
Suak : mata air di sungai
Kaluk : lengkung
Pico : kicau
Bono : gelombang besar yang terdapat di muara sungai
Mengubuk : memunculkan gelombang air







Telaga Bidadari
Nunik Utami

 



Dahulu kala, ada seorang pemuda yang tampan dan gagah. Ia bernama Awang Sukma. Awang Sukma mengembara sampai ke tengah hutan belantara. Ia tertegun melihat aneka macam kehidupan di dalam hutan. Ia membangun sebuah rumah pohon di sebuah dahan pohon yang sangat besar. Kehidupan di hutan rukun dan damai. Setelah lama tinggal di hutan, Awang Sukma diangkat menjadi penguasa daerah itu dan bergelar Datu. Sebulan sekali, Awang Sukma berkeliling daerah kekuasaannya dan sampailah ia di sebuah telaga yang jernih dan bening. Telaga tersebut terletak di bawah pohon yg rindang dengan buah-buahan yang banyak. Berbagai jenis burung dan serangga hidup dengan riangnya. "Hmm, alangkah indahnya telaga ini. Ternyata hutan ini menyimpan keindahan yang luar biasa," gumam Datu Awang Sukma.
   Keesokan harinya, ketika Datu Awang Sukma sedang meniup serulingnya, ia mendengar suara riuh rendah di telaga. Di sela-sela tumpukan batu yang bercelah, Datu Awang Sukma mengintip ke arah telaga. Betapa terkejutnya Awang Sukma ketika melihat ada 7 orang gadis cantik sedang bermain air. "Mungkinkah mereka itu para bidadari?" pikir Awang Sukma. Tujuh gadis cantik itu tidak sadar jika mereka sedang diperhatikan dan tidak menghiraukan selendang mereka yang digunakan untuk terbang, bertebaran di sekitar telaga. Salah satu selendang tersebut terletak di dekat Awang Sukma. "Wah, ini kesempatan yang baik untuk mendapatkan selendang di pohon itu," gumam Datu Awang Sukma.

            Mendengar suara dedaunan, para putri terkejut dan segera mengambil selendang masing-masing. Ketika ketujuh putri tersebut ingin terbang, ternyata ada salah seorang putri yang tidak menemukan pakaiannya. Ia telah ditinggal oleh keenam kakaknya. Saat itu Datu Awang Sukma segera keluar dari persembunyiannya. "Jangan takut tuan putri, hamba akan menolong asalkan tuan putri sudi tinggal bersama hamba," bujuk Datu Awang Sukma. Putri Bungsu masih ragu menerima uluran tangan Datu Awang Sukma. Namun karena tidak ada orang lain maka tidak ada jalan lain untuk Putri Bungsu kecuali menerima pertolongan Awang Sukma.
Datu Awang Sukma sangat mengagumi kecantikan Putri Bungsu. Demikian juga dengan Putri Bungsu. Ia merasa bahagia berada di dekat seorang yang tampan dan gagah perkasa. Akhirnya mereka memutuskan untuk menjadi suami istri. Setahun kemudian lahirlah seorang bayi perempuan yang cantik dan diberi nama Kumalasari. Kehidupan keluarga Datu Awang Sukma sangat bahagia.
Namun, pada suatu hari seekor ayam hitam naik ke atas lumbung dan mengais padi di atas permukaan lumbung. Putri Bungsu berusaha mengusir ayam tersebut. Tiba-tiba matanya tertuju pada sebuah bumbung bambu yang tergeletak di bekas kaisan ayam. "Apa kira-kira isinya ya?" pikir Putri Bungsu. Ketika bumbung dibuka, Putri Bungsu terkejut dan berteriak gembira. "Ini selendangku!, seru Putri Bungsu. Selendang itu pun didekapnya erat-erat. Perasaan kesal dan jengkel tertuju pada suaminya. Tetapi ia pun sangat sayang pada suaminya.
Akhirnya Putri Bungsu membulatkan tekadnya untuk kembali ke kahyangan. "Kini saatnya aku harus kembali!," katanya dalam hati. Putri Bungsu segera mengenakan selendangnya sambil menggendong bayinya. Datu Awang Sukma terpana melihat kejadian itu. Ia langsung mendekat dan minta maaf atas tindakan yang tidak terpuji yaitu menyembunyikan selendang Putri Bungsu. Datu Awang Sukma menyadari bahwa perpisahan tidak bisa dielakkan. "Kanda, dinda mohon peliharalah Kumalasari dengan baik," kata Putri Bungsu kepada Datu Awang Sukma." Pandangan Datu Awang Sukma menerawang kosong ke angkasa. "Jika anak kita merindukan dinda, ambillah tujuh biji kemiri, dan masukkan ke dalam bakul yang digoncang-goncangkan dan iringilah dengan lantunan seruling. Pasti dinda akan segera datang menemuinya," ujar Putri Bungsu.
Putri Bungsu segera mengenakan selendangnya dan seketika terbang ke kahyangan. Datu Awang Sukma menap sedih dan bersumpah untuk melarang anak keturunannya memelihara ayam hitam yang dia anggap membawa malapetaka.






SELESAI




Zaman dahulu kala, di Jepang tinggalah sepasang kakek dan nenek. Kakek adalah seorang yang sangat baik hati dan pekerja keras. Sebaliknya nenek adalah seorang penggerutu dan senang mencaci maki, sikapnya juga kasar dan buruk. Itulah sebabnya kakek lebih suka menghabiskan waktunya dengan bekerja di ladang dari pagi hingga petang. Mereka tidak dikaruniai anak, tapi kakek memiliki seekor burung pipit yang selalu menghiburnya. Dia sangat cantik dan diberi nama Suzume. Kakek sangat menyayanginya. Setiap petang sepulangnya dari ladang, kakek akan membuka kandang Suzume, membiarkannya terbang di dalam rumah, lalu mengajaknya bermain, berbicara, dan mengajarinya trik-trik yang dengan cepat dipelajarinya.
Suatu hari, saat kakek pergi bekerja, nenek mulai membereskan rumah. Kemarin nenek sudah menyiapkan bubur tepung beras untuk melicinkan pakaian yang sudah dicuci. Bubur itu disimpannya di atas meja. Tapi kini mangkuk buburnya telah kosong. Rupanya kakek lupa menutup kandang Suzume, sehingga dia terbang di sepanjang rumah dan memakan bubur tepung beras nenek. Saat si nenek kebingungan mencari siapa yang menghabiskan buburnya, Suzume terbang menghampiri nenek. Dia membungkuk memberi hormat lalu kicaunya:
“Sayalah yang memakan bubur tepung beras nenek. Saya pikir itu adalah makanan untukku. Saya mohon maafkanlah saya. Twit! Twit! Twit!”
Nenek sangat marah mendengar pengakuan si burung pipit. Memang nenek tidak pernah menyukai Suzume. Baginya keberadaan Suzume hanya mengotori rumah saja. Ini adalah kesempatan si nenek untuk melampiaskan kemarahannya. Maka keluarlah cacian dari mulut nenek. Tidak cukup sampai disitu nenek yang kalap merenggut Suzume yang malang dan memotong lidahnya hingga putus.
“Ini adalah pelajaran buatmu!” kata nenek, “karena dengan lidah ini kamu memakan bubur tepung berasku! Sekarang pergilah dari sini! Aku tak mau melihatmu lagi!”
Suzume hanya bisa menangis menahan sakit, dan terbang jauh ke arah hutan.
Sore harinya kakek pulang dari ladang. Seperti biasa kakek menghampiri kandang Suzume untuk mengajaknya bermain. Tapi ternyata kandang itu sudah kosong. Dicarinya Suzume di sekeliling rumah dan dipangilnya, namun Suzume tidak juga muncul. Kakek merasa yakin bahwa neneklah yang telah membuat Suzume pergi. Maka kakek pun menghampiri nenek dan bertanya:
“Kemana Suzume? Kau pasti tahu dimana dia.” “Burung pipitmu?” kata nenek, “Aku tidak tahu dimana dia. Aku tidak melihatnya sepanjang hari ini. Oh, mungkin dia jenis burung yang tidak tahu berterima kasih. Makanya dia kabur dan tak ingin kembali meskipun kau sangat menyayanginya.”
Kakek tentu saja tidak percaya dengan perkataan nenek. Dia memaksanya untuk berbicara jujur. Akhirnya nenek mengaku telah mengusir Suzume dan memotong lidahnya.
Itu hukuman karena dia telah berbuat nakal” kata nenek.
“Kenapa kau begitu kejam?” kata kakek. Dia sebenarnya sangat marah, tapi dia terlalu baik untuk menghukum istrinya yang kejam. Namun dia tidak bisa berhenti mengkhawatirkan Suzume yang pasti sangat menderita.
“Betapa malangnya Suzume. Dia pasti kesakitan. Dan tanpa lidahnya dia mungkin tidak bisa berkicau lagi,” pikir kakek.

Dia bertekad untuk mencari Suzume sampai ketemu besok pagi.
Esoknya, pagi-pagi sekali kakek sudah berkemas dan bersiap pergi untuk mencari Suzume. Dia pergi ke bukit lalu ke dalam hutan. Di setiap rumpunan bambu yang ditemuinya, dia akan berhenti dan mulai memanggilnya:
"Dimana oh dimana burung pipitku yang malang,
 Dimana oh dimana burung pipitku yang malang"
Kakek terus mencari Suzume tanpa kenal lelah. Dia bahkan lupa kalau perutnya belum diisi sejak pagi. Sore harinya, sampailah kakek di rumpunan bambu yang rimbun. Dia pun mulai memanggil lagi:
"Dimana oh dimana burung pipitku yang malang,
 Dimana oh dimana burung pipitku yang malang"
Dari rimbunan bambu tersebut, keluarlah Suzume. Dia membungkukan kepalanya, memberi hormat pada kakek. Kakek senang sekali bisa menemukan Suzume, apalagi ternyata lidah Suzume telah tumbuh lagi sehingga dia tetap bisa berkicau. Suzume mengajak kakek untuk mampir ke rumahnya. Ternyata Suzume memiliki keluarga dan mereka tinggal di sebuah rumah seperti layaknya manusia.
“Suzume pasti bukan burung biasa,” pikir kakek.
Kakek mengikuti Suzume memasuki rumpunan bambu. Rumah suzume ternyata sangat indah. Dindingnya terbuat dari bambu berwarna putih cerah. Karpetnya sangat lembut, bantal yang didudukinya sangat empuk dan dilapisi sutra yang sangat halus. Ruangannya sangat luas dan dihiasi ornamen-ornamen yang cantik. Kakek disuguhi berbagai makanan dan minuman yang sangat lezat, juga tarian burung pipit yang sangat menakjubkan. Kakek juga diperkenalkan kepada seluruh anggota keluarga Suzume. Mereka semua sangat berterima kasih pada kakek yang telah merawat Suzume dengan baik. Sebaliknya kakek pun memohon maaf atas perlakuan istrinya yang kejam terhadap Suzume.
Waktu berlalu tanpa terasa. Malam pun semakin larut. Akhirnya kakek meminta diri dan berterima kasih atas sambutan keluarga Suzume yang hangat. Suzume memohon supaya kakek menginap satu atau dua malam, namun kakek bersikeras untuk pulang karena pasti nenek kebingungan mencarinya. Kakek berjanji akan sering-sering menunjungi suzume lain waktu. Sebelum pulang Suzume memaksa kakek untuk memilih kotak hadiah untuk dibawanya pulang. Ada dua buah kotak yang ditawarkan. Satu kecil dan satu lagi besar. Kakek memilih kotak kecil.
“Aku sudah tua dan lemah,” katanya. “Aku tidak akan kuat jika harus membawa kotak yang besar.”
Suzume dan keluarganya mengantarkan kakek sampai keluar dari rumpunan bambu dan sekali lagi membungkukan kepalanya memberi hormat.
Setibanya di rumah, nenek langsung mencecarnya:
“Kemana saja seharian? Kenapa begitu malam baru pulang?” tanyanya.
Kakek mencoba menenangkannya dan memperlihatkan kotak yang didapatnya dari Suzume. Kakek juga menceritakan pertemuannya dengan Suzume.
“Baiklah!” kata nenek. “Sekarang cepat buka kotak itu! Kita lihat apa isinya.” Maka mereka lalu membuka kotak itu bersama-sama. Betapa terkejutnya mereka, ternyata kotak itu penuh berisi uang emas, perak dan perhiasan-perhiasan yang sangat indah. Kakek mengucap syukur berkali-kali atas anugrah itu. Tapi nenek yang serakah malah memarahi kakek karena tidak memilih kotak yang besar.
“Kalau kotak yang kecil saja isinya bisa sebayak ini apalagi kotak yang besar,” teriaknya.
Esok paginya setelah memaksa kakek untuk menunjukkan jalan ke tempat Suzume, nenek pergi dengan penuh semangat.   Kakek mencoba melarangnya, namun sia-sia saja. Setelah melewati bukit dan masuk ke dalam hutan, sampailah si nenek di tepi rimbunan bambu, maka dia pun mulai memanggil:
“Dimana oh dimana burung pipitku yang malang, Dimana oh dimana burung pipitku yang malang”
Suzume pun keluar dari rimbunan bambu dan membungkukan kepalanya ke arah nenek. Tanpa membuang waktu dan tanpa malu nenek berkata:
“Saya tidak akan membuang waktumu. Aku datang kesini hanya untuk meminta kotak yang kemarin ditolak oleh kakek. Setelah itu aku akan pergi.”
Suzume memberikan kotak yang diminta, dan tanpa mengucapkan terima kasih, nenek segera meninggalkan tempat itu.
Kotak itu sangat berat. Dengan terseok-seok nenek memanggulnya. Semakin lama kotak itu semakin berat, seolah-olah berisi ribuan batu. “Kotak ini pasti berisi harta karun yang sangat banyak,” pikir nenek. Dia sudah tidak sabar ingin mengetahui isi kotak tersebut. Maka dia menurunkan kotak itu dari punggungnya dan lalu membukanya. Wush!!! Dari dalam kotak itu keluar ribuan makhluk yang menyeramkan dan mengejar nenek yang langsung lari terbirit-birit. Beruntung nenek bisa sampai di rumahnya meski jantungnya serasa mau putus. Kepada kakek dia menceritakan apa yang dialaminya.
“Itulah hukuman bagi orang yang serakah,” kata kakek. “Semoga ini menjadi pelajaran buatmu.”
Sejak saat itu nenek tidak pernah lagi mengeluarkan kata-kata kasar dan selalu berlaku baik pada orang lain. Dan mereka berdua hidup bahagia selamanya.














DAFTAR PUSTAKA

Utami,Ninik.2010.Dongeng Negri 1001 Malam.Jakarta
Setyorini,Wahyu.Dongeng Anak.IMAGE PRESS
Tsuraya,Aliyah.2010.Dongeng 1001 Malam.Jakarta Selatan. Qoltummedia.
http://jagungtitiku.blogspot.com/2011/03/dongeng-angin-barat-dan-angin-timur.html
http://cicykasih.wordpress.com/2008/07/17/keong-mas/
http://www.pendongeng.com/dongeng-mancanegara/16-burung-pipit-berlidah-pendek.html