Shallu
sangat mencintai istrinya, Rawina. Apa saja yang diinginkan istrinya ia
berusaha menurutinya. Meski untuk itu Shallu harus bekerja keras sebagai
penjual buah keliling. Sampai suatu hari istrinya meminta Shallu untuk berganti
pekerjaan.
“Aku ingin kau
jadi pejabat istana, suamiku,” pinta Rawina.
“Mengapa harus
jadi pejabat istana?” tanya Shallu bingung.
“Tadi siang aku
pergi ke pasar. Tapi pasar itu ditutup untuk umum selama beberapa waktu karena ada istri pejabat
istana yang sedang berbelanja. Hal ini sudah seringkali terjadi,” cetus Rawina
dengan nada iri.
Shallu yang malang terpaksa berpikir
keras untuk mewujudkan keinginan istrinya. Keesokan harinya ia membeli tikar,
dupa, buku-buku ramalan, dan seperangkat alat yang biasa digunakan para tukang
ramal lainnya. Kemudian ia menggelar perabotannya tak jauh dari gerbang istana.
Kebetulan saat itu, sang Ratu yang
hendak mandi menyuruh seorang dayangnya untuk menyimpan anting-antingnya di
tempat aman. Dayang yang tahu bahwa dirinya sering pelupa, menyimpannya di
lubang tembok kamarnya. Tak lupa ia menyimpan sehelai rambut sebagai tanda di
lubang itu.
Namun
kesibukan dayang itu membuat lupa. Maka ketika sang Ratu bertanya tentang
anting-antingnya, dayang itu kalang kabut mencarinya. Masalahnya, anting-anting
itu adalah perhiasan kesayangan ratu. Hukuman terberat bisa saja ditimpakan
padanya.
Dayang
pelupa itu berusaha kabur dari istana. Tapi di pintu gerbang ia melihat seorang
peramal tengah duduk serius. Dayang itu berharap peramal itu dapat membantunya.
“Saya dalam
bahaya, Pak. Saya lupa tempat menyimpan anting-anting Ratu. Jika Bapak dapat
mengingatkan saya tempatnya, saya akan berterimakasih sekali,” kata dayang itu.
Peramal
itu tidak lain adalah Shallu. Ia sedang melamun saat dayang itu datang.
Diingatnya wajah istrinya yang cantik. Yang membuatnya jatuh cinta kepadanya
adalah rambut istrinya yang panjang dan hitam mengkilat. “Ya, rambut itu …
rambut itu,” gumam Shallu.
Dayang
itu terkejut mendengar kata-kata Shallu. Ia segera teringat lobang tembok yang
ditandai rambutnya. Segera saja ia kembali ke istana setelah mengucapkan
terimakasih. Dicarinya anting-anting milik Ratu. Sambil menyerahkan
anting-anting Ratu, dayang itu langsung menceritakannya kepada baginda Raja.
Tidak
berapa lama kemudian Shallu pun diminta untuk bekerja di istana. Ia diangkat
Raja sebagai peramal istana. Rawina merasa bangga dengan pengangkatan itu.
Namun Shallu malah menjadi cemas, karena ia memikirkan akibat yang harus
ditanggungnya jika Raja mengetahui hal sebenarnya.
Beberapa
hari setelah Shallu menjadi peramal istana, Raja memanggilnya untuk sebuah
tugas. Shallu diminta menangkap pencuri yang telah mengambil sejumlah perhiasan
milik Ratu.
“Aku memberimu waktu tujuh hari. Jika gagal, kau dan istrimu akan dihukum,” titah Raja.
“Aku memberimu waktu tujuh hari. Jika gagal, kau dan istrimu akan dihukum,” titah Raja.
Shallu
semakin bingung. Jika hukuman itu untuknya saja, bukan masalah. Tapi ia tidak
mau istrinya ikut dihukum. Akhirnya begitu tiba di rumah ia hanya dapat
menyerahkan tujuh butir kacang yang dimasukkannya ke dalam botol kepada
istrinya
“Berikan padaku satu butir kacang setiap malam menjelang tidur. Sehingga aku ingat, pada kacang terakhir nanti kita harus pergi meninggalkan negeri ini keesokan harinya,” kata Shallu.
“Berikan padaku satu butir kacang setiap malam menjelang tidur. Sehingga aku ingat, pada kacang terakhir nanti kita harus pergi meninggalkan negeri ini keesokan harinya,” kata Shallu.
Rawina
hanya dapat mengangguk sambil menahan tangis. Ia mulai mengerti betapa dirinya
terlalu serakah. Permintaannya membuat ia dan suaminya dalam keadaan bahaya.
Tanpa
mereka duga, jumlah kawanan pencuri perhiasan istana itu berjumlah tujuh orang.
Mereka juga mendengar perintah sang Raja kepada Shallu. Maka untuk mengetahui
kehebatan Shallu, kawanan pencuri itu menyelidiki tempat kediaman Shallu.
Pada
malam harinya salah seorang pencuri naik ke atap rumah dan mendengar percakapan
Shallu dan Rawina tentang pencurian di istana. Sambil bicara, Rawina menyerahkan
biji kacang kepada Shallu.
“Suamiku, ini
yang pertama,” katanya sambil mengingatkan Shallu.
Shallu
memperhatikan biji kacang di tangannya. “Ya, yang pertama. Sangat hitam,” sahut
Shallu.
Rupanya
pencuri itu mengartikannya lain. Dia mengira Shallu dan istrinya mengetahui
kedatangannya. Segera saja ia berlari menemui pimpinan pencuri.
“Bos, rupanya
peramal itu sudah mengetahui kita. Bahkan ia tahu warna kulitku segala,” kata
pencuri yang berkulit hitam itu.
Pimpinan pencuri itu menyuruh anak
buahnya mendatangi Shallu. Semuanya bertambah yakin akan kehebatan Shallu.
Hingga akhirnya pimpinan pencuri itu datang sendiri ke rumah Shallu. Pada saat
itu pula Rawina memberikan biji kacang yang ketujuh.
“Ya,
inilah yang terakhir. Dan ini yang terbesar di antara lainnya,” komentar
Shallu.
Pimpinan
pencuri itu merasa panik mendengarnya. Dengan cepat ia kemudian keluar dari
persembunyiannya dan bersujud di kaki Shallu. “Maafkan kami. Tuan. Kami
berjanji tidak akan mencuri. Kami akan mengembalikan perhiasan yang kami curi.
Tapi tolong bebaskan kami,” kata pemimpin pencuri itu.
Shallu
sangat terkejut dengan kejadian itu. Ia masih belum menyadarinya sampai kawanan
pencuri itu mengembalikan seluruh perhiasan yang mereka curi. Baginda Raja
sangat terkesan dengan kehebatan Shallu meski pencuri itu tidak ditangkap. Ia
memberikan Shallu hadiah.
Sehari
kemudian Rawina meminta Shallu agar mereka berkata terus terang kepada Raja
karena mereka kini selalu merasa cemas. Shallu kembali berpikir keras untuk
keluar dari istana. Satu-satunya jalan adalah ia pura-pura menjadi gila!
Maka
siang harinya ia sengaja keluar dari kamar mandi tanpa berpakaian lengkap.
Sambil berlari ia menuju ruang singgasana Raja. Tentu saja orang-orang bingung
melihat tingkahnya. Apalagi ketika kemudian Shallu menggendong baginda Raja.
Tapi
lagi-lagi, keajaiban terjadi. Tiba-tiba atap di atas singgasana Raja roboh.
Beberapa orang tewas seketika, namun baginda Raja selamat karena digendong oleh
Shallu.
“Dia
benar-benar pejabat istana yang setia. Mengetahui Raja akan celaka, dia keluar
dari kamar mandi meski belum selesai berpakaian untuk menyelamatkan Raja,”
seluruh rakyat membicarakan kehebatan Shallu.
Raja
semakin sayang terhadap Shallu. Namun demikian Shallu dan Rawina memutuskan
untuk berterus terang sehingga Raja pun menyadari bahwa tidak ada satu hal pun
yang dapat diramalkan oleh manusia. Shallu tetap diangkat menjadi pejabat
istana. Jabatannya bukan sebagai peramal, melainkan penasihat Raja.
(SELESAI)
Keong Mas
Cicy Kasih |
Raja
Kertamarta adalah raja dari Kerajaan Daha. Raja mempunyai 2 orang putri,
namanya Dewi Galuh dan Candra Kirana yang cantik dan baik. Candra
kirana sudah ditunangkan oleh putra mahkota
Kerajaan Kahuripan yaitu Raden Inu Kertapati yang baik dan bijaksana.
Tapi
saudara kandung Candra Kirana yaitu Galuh Ajeng sangat iri pada Candra kirana,
karena Galuh Ajeng menaruh hati pada Raden Inu kemudian Galuh Ajeng menemui
nenek sihir untuk mengutuk candra kirana. Dia juga memfitnahnya sehingga candra
kirana diusir dari Istana ketika candra kirana berjalan menyusuri pantai, nenek
sihirpun muncul dan menyihirnya menjadi keong emas dan membuangnya kelaut. Tapi
sihirnya akan hilang bila keong emas berjumpa dengan tunangannya.
Suatu
hari seorang nenek sedang mencari ikan dengan jala, dan keong emas terangkut.
Keong Emas dibawanya pulang dan ditaruh di tempayan. Besoknya nenek itu mencari
ikan lagi dilaut tetapi tak seekorpun didapat. Tapi ketika ia sampai digubuknya
ia kaget karena sudah tersedia masakan yang enak-enak. Sinenek bertanya-tanya
siapa yang memgirim masakan ini.
Begitu
pula hari-hari berikutnya sinenek menjalani kejadian serupa, keesokan paginya
nenek pura-pura kelaut ia mengintip apa yang terjadi, ternyata keong emas
berubah menjadi gadis cantik langsung memasak, kemudian nenek menegurnya ”
siapa gerangan kamu putri yang cantik ? ” Aku adalah putri kerajaan Daha yang
disihir menjadi keong emas oleh saudaraku karena ia iri kepadaku ” kata keong
emas, kemudian candra kirana berubah kembali menjadi keong emas. Nenek itu
tertegun melihatnya.
Sementara
pangeran Inu Kertapati tak mau diam saja ketika tahu candra kirana menghilang.
Iapun mencarinya dengan cara menyamar menjadi rakyat biasa. Nenek sihirpun
akhirnya tahu dan mengubah dirinya menjadi gagak untuk mencelakakan Raden Inu
Kertapati. Raden Inu Kertapati Kaget sekali melihat burung gagak yang bisa
berbicara dan mengetahui tujuannya. Ia menganggap burung gagak itu sakti dan
menurutinya padahal raden Inu diberikan arah yang salah. Diperjalanan Raden Inu
bertemu dengan seorang kakek yang sedang kelaparan, diberinya kakek itu makan.
Ternyata kakek adalah orang sakti yang baik Ia menolong Raden Inu dari burung gagak
itu.
Kakek
itu memukul burung gagak dengan tongkatnya, dan burung itu menjadi asap.
Akhirnya Raden Inu diberitahu dimana Candra Kirana berada, disuruhnya raden itu
pergi kedesa dadapan. Setelah berjalan berhari-hari sampailah ia kedesa Dadapan
Ia menghampiri sebuah gubuk yang dilihatnya untuk meminta seteguk air karena
perbekalannya sudah habis. Tapi ternyata ia sangat terkejut, karena dari balik
jendela ia melihatnya tunangannya sedang memasak. Akhirnya sihirnya pun hilang
karena perjumpaan dengan Raden Inu. Tetapi pada saat itu muncul nenek pemilik
gubuk itu dan putri Candra Kirana memperkenalkan Raden Inu pada nenek. Akhirnya
Raden Inu memboyong tunangannya keistana, dan Candra Kirana menceritakan
perbuatan Galuh Ajeng pada Baginda Kertamarta.
Baginda
minta maaf kepada Candra Kirana dan sebaliknya. Galuh Ajeng mendapat hukuman
yang setimpal. Karena takut Galuh Ajeng melarikan diri kehutan, kemudian ia
terperosok dan jatuh kedalam jurang. Akhirnya pernikahan Candra kirana dan
Raden Inu Kertapatipun berlangsung. Mereka memboyong nenek dadapan yang baik
hati itu keistana dan mereka hidup bahagia.
SELESAI
Pada jaman dahulu, ada seorang gadis
kecil yang tinggal di dekat hutan. Pada saat dia keluar dia selalu menggunakan
kerudung merah. Jadi semua orang di desanya memanggilnya gadis
berkerudung merah.
Suatu pagi, gadis berkerudung merah berkata
keada ibunya bahwa dia ingin pergi mengunjungi rumah neneknya.
"Itu ide yang bagus" kata mamanya. Mereka juga membawa beberapa makanan ringan yang di taruh dalam keranjang untuk neneknya.
"Ingat, jalan terus, jangan berlengah-lengah di jalan, dan jangan berbicara dengan orang asing! hutannya sangat berbahaya!"
Tetapi saat gadis berkerudung merah
melihat beberapa bunga di taman, dia lua akan janjinya. Tiba-tiba, serigala
muncul di sampingnya.
"Apa yang kamu lakukan gadis kecil
??" Tanya serigala
"Aku sedang dalam erjalanan mengunjungi rumah nenek saya!" Jawab Gadis berkerudung merah, dan ketika gadis berkerudung merah sadar bahwa dia bisa terlambat sampai ke rumah neneknya. Gadis berkerudung merah langsun cepat-cepat berpamitan kepada serigala.
"Aku sedang dalam erjalanan mengunjungi rumah nenek saya!" Jawab Gadis berkerudung merah, dan ketika gadis berkerudung merah sadar bahwa dia bisa terlambat sampai ke rumah neneknya. Gadis berkerudung merah langsun cepat-cepat berpamitan kepada serigala.
Sementara
itu, serigala mengambil jalan pintas agar bisa sampai di rumah nenek sebelum
gadis berkerudung merah.
'Tok tok tok' serigala mengetuk pintu
"Silahkan masuk sayang, saya
sudah khawatir sesuatu terjadi padamu, di hutan !" Kata nenek mengira yang
mengetuk pintu adalah cucunya.
Malangnya,
nenek tidak punya waktu untuk mengatakan satu kata patahpun serigala langsung
masuk dan melahap sang nenek.
Beberapa menit kemudian gadis
berkerudung merah datang dan mengetuk pintu 'Tok tok tok'
"Siapa itu ?" Serigala
bertanya sambil menirukan suara sang nenek
"Ini aku gadis berkerudung
merah"
"Oh, sayangku! kemarilah, nenek
sudah menunggumu dari tadi!"
Lalu gadis berkerudung merah masuk ke
dalam gubuk .
"Nenek...., Kenapa suaramu asing,
apakah nenek sedang sakit?" Tanya gadis berkerudung merah,
"Oh,
aku hanya sedang tidak enak badan!"
"Tapi
nenek, mengapa kamu mempunyai telinga yang besar?"
"Tentu
saja agar bisa mendengar suaramu yang indah dengan baik!"
"Tapi
nenek, Mengapa kamu mempunyai mata yang besar ?"
"Tentu
saja agar bisa melihatmu dengan baik sayang!"
"Tapi nenek, mengapa kamu mempunyai gigi yang besar dan runcing ?"
"Tapi nenek, mengapa kamu mempunyai gigi yang besar dan runcing ?"
"Tentu
saja untuk memakanmu!hahahaaha" serigalapun berjalan dan mengejar gadis
kecil itu.
Hampir
terlambat, Gadis berkerudung merah menyadari, bahwa orang tua yang diatas
tempat tidur bukan neneknya, akan tetapi serigala yang lapar.
Gadis
berkerudung merahpun berlari keluar dari ruangan dan menutup pintu.
"Tolong, tolong ada serigala" teriak gadis berkerudung merah.
Seorang
tukang kayupun mendengar suaranya dan berlari ke arah guuk secepat dia bisa dan
bertanya kepada gadis berkerudung merah,
"Di
mna serigala itu??"
"Itu,
itu dia ada di dalam gubuk nenek dan melahap nenek saya!"
Akhirnya
tukang kayupun langsung masuk kedalam gubuk dan menembak sang serigala, juga
mengeluarkan nenek dari perut serigala, lalu gadis berkerudung merahpun makan
siang dan mengobrol bersama nenek.
Itik Buruk Rupa
Hans Christian Andersen
|
Dahulu
kala, adalah sekelompok bebek yang tinggal di tepi sungai. Mereka terdiri
terdiri dari Pak Bebek, Ibu Bebek, dan telur-telur bebek yang sedang dierami
oleh Ibu Bebek. Suatu hari telur-telur itu menetas satu persatu. Pak Bebek
senang bukan main, Ibu Bebek pun demikian. Sambil memperhatikan telur-telur
yang menetas satu persatu, ia pun tersenyum dan memeluk satu persatu anak bebek
yang sudah lahir itu. Namun pada telur yang terakhir menetas, yang keluar
bentuknya sangat berbeda dengan saudara-saudaranya. Bila Ibu dan Pak Bebek
berwarna kuning keemasan dan berparuh oranye serta berbunyi “Kweek..kweek..”
maka anak bebek yang terakhir ini berbulu kehitaman dan berparuh kecoklatan,
wajahnya tidak secantik saudara-saudaranya, dan suaranya pun berbeda, “Ooork..ooork…”
Pak
dan Ibu bebek pun bertengkar hebat. Pak bebek merasa anak itu adalah hasil
perselingkuhan Ibu bebek dengan mahluk lain, sedangkan Ibu bebek tidak terima
dituduh seperti itu. Pak bebek pun pergi meninggalkan Ibu bebek. Sementara itu
si bebek kecil yang buruk rupa tadi pun diejek oleh saudara-saudaranya yang
lain.
Namun
demikian, si bebek kecil yang buruk rupa itu tetap mengikuti kemanapun induknya
pergi, walaupun induknya tidak pernah sekalipun memperhatikannya. Semakin
besar, semakin berbedalah dia dengan saudara-saudaranya yang lain, dan hal ini
sangat memalukan bagi Ibu bebek. Apalagi si bebek buruk rupa ini ternyata tidak
bisa berenag sebaik saudara-saudaranya yang lain. Pada suatu hari, saat sedang
berenang bersama Ibu dan saudara-saudaranya, sang bebek buruk rupa ini
tertinggal jauh di belakang.. Ia kemudian memanggil-manggil ibunya dengan
suaranya yang jelek itu, namun tidak ada sahutan..
Akhirnya
ia pun berenang menyusuri sungai untuk mencari keluarganya kembali,
berhari-hari ia lalui tanpa menyerah, hujan angin ia terpa tanpa kenal lelah,
hingga akhirnya ia benar-benar putus asa dan menangis sedih di sudut sungai…
Tangisannya begitu meyayat hati, ia masih begitu kecil, belum mengerti mengapa
ibunya meninggalkannya dan tidak pernah sayang padanya, padahal ia anaknya..
mengapa langit begitu kejam padanya… mengapa… tangisnya..
Tak
lama, datanglah dua ekor bebek yang ajaibnya, sama buruknya dengan bebek buruk
rupa itu, bahkan suaranya pun juga sama! Mereka mendatangi bebek kecil yang
sedang menangis itu dan menghiburnya. Tak lama, datanglah induk mereka yang
mencari kedua anaknya yang tiba-tiba menghilang, dan terlihatlah oleh bebek
buruk rupa itu seekor angsa yang sangat cantik.. lehernya panjang… dan wajahnya
menyiratkan kasih dan sayang…
Begitu
melihat bebek buruk rupa itu, ia pun bertanya padanya:
“Wahai
mahluk kecil,mengapa engkau menangis?”
“Saya
kehilangan induk saya…” jawab si bebek sambil menangis.. “Induk saya tidak mau
saya lagi..karena saya berbeda dengan saudara-saudara saya.. mereka
cantik-cantik dan pandai berenang seperti saudara-saudara saya yang lain..
waktu baru lahir, saya sudah dibenci oleh ibu saya, karena saya tidak seperti
mereka…dia tidak pernah menyayangi saya… katanya saya bukanlah anaknya…karena
bulu saya tidak kuning keemasan seperti mereka… paruh saya tidak sama warnanya
dengan mereka.. dan suara saya sangat jelek…Ibu selalu berkata bahwa saya
adalah bebek yang salah lahir..”
“Wahai
mahluk kecil, jangan menangis… memang benar kata Ibu kamu, kamu berbeda dengan
saudara-saudaramu yang lain.. mereka memiliki apa yang tidak kamu miliki…dan
sebaliknya kamu juga memiliki apa yang tidak mereka miliki…
Nah,
sekarang lihatlah air yang mengalir di bawahmu, pandanglah wajahmu… lihatlah
persamaan antara dirimu dan anak-anakku…”
Sang itik pun melihat pantulan dirinya sendiri di air dan mendapati bahwa dirinya ternyata sama dengan kedua anak itik tersebut…
Sang itik pun melihat pantulan dirinya sendiri di air dan mendapati bahwa dirinya ternyata sama dengan kedua anak itik tersebut…
“Ya…
kamu bukanlah anak bebek… kamu adalah anak itik… memang saat ini rupamu buruk,
tetapi aku yakin kelak kamu akan menjadi secantik aku… kemarilah nak, anggaplah
aku ini Ibumu…”
Sang
itik kecil itupun mendekati induk Angsa yang cantik dan merasakan kehangatan
dibawah pelukan sayapnya yang penuh dengan kasih… ia pun tak lagi bersedih…
Kemudian
sang itik kecil pun ikut bersama dengan induk angsa kemanapun mereka berenang,
sekarang sebagai itik yang bangga, karena ia mempunyai keluarga yang
menyayanginya… dan pada suatu kesempatan, ia berpapasan dengan keluarga bebek
yang pernah membencinya, ia pun berasa bangga saat melewati mereka… dan
anak-anak bebek itupun hanya terbengong-bengong saja melihatnya.
SELESAI
Alibaba dan 40 Penyamun
Aliyah
Tsuraya
|
Dahulu
kala, dikota Persia, hidup 2 orang bersaudara yang bernama Kasim dan Alibaba.
Alibaba adalah adik Kasim yang hidupnya miskin dan tinggal didaerah pegunungan.
Ia mengandalkan hidupnya dari penjualan kayu bakar yang dikumpulkannya. Berbeda
dengan abangnya, Kasim, seorang yang kaya raya tetapi serakah dan tidak pernah
mau memikirkan kehidupan adiknya.
Suatu
hari, ketika Alibaba pulang dari mengumpulkan kayu bakar, ia melihat segerombol
penyamun yang berkuda. Alibaba segera bersembunyi karena takut jika ia
terlihat, ia akan dibunuh. Dari tempat persembunyiannya, Alibaba memperhatikan
para penyamun yang sedang sibuk menurunkan harta rampokannya dari kuda mereka.
Kepala penyamun tiba-tiba berteriak, "Alakazam ! Buka…..". Pintu gua
yang ada di depan mereka terbuka perlahan-lahan. Setelah itu mereka segera
memasukkan seluruh harta rampokan mereka. "Alakazam ! tutup… " teriak
kepala penyamun, pintu gua pun tertutup.
Setelah
para penyamun pergi, Alibaba memberanikan diri keluar dari tempat sembunyinya.
Ia mendekati pintu gua tersebut dan meniru teriakan kepala penyamun tadi.
"Alakazam! Buka….." pintu gua yang terbuat dari batu itu terbuka.
"Wah… Hebat!" teriak Alibaba sambil terpana sebentar karena melihat
harta yang bertumpuk-tumpuk seperti gunung. "Gunungan harta ini akan Aku
ambil sedikit, semoga aku tak miskin lagi, dan aku akan membantu tetanggaku
yang kesusahan". Setelah mengarungkan harta dan emas tersebut, Alibaba
segera pulang setelah sebelumnya menutup pintu gua. Istri Alibaba sangat
terkejut melihat barang yang dibawa Alibaba. Alibaba kemudian bercerita pada
istrinya apa yang baru saja dialaminya. "Uang ini sangat banyak… bagaimana
jika kita bagikan kepada orang-orang yang kesusahan.." ujar istri Alibaba.
Karena terlalu banyak, uang emas tersebut tidak dapat dihitung Alibaba dan
istrinya. Akhirnya mereka sepakat untuk meminjam kendi sebagai timbangan uang
emas kepada saudaranya, Kasim. Istri Alibaba segera pergi meminjam kendi kepada
istri Kasim. Istri Kasim, seorang yang pencuriga, sehingga ketika ia memberikan
kendinya, ia mengoleskan minyak yang sangat lengket di dasar kendi.
Keesokannnya,
setelah kendi dikembalikan, ternyata di dasar kendi ada sesuatu yang berkilau.
Istri Kasim segera memanggil suaminya dan memberitahu suaminya bahwa di dasar
kendi ada uang emas yang melekat. Kasim segera pergi ke rumah Alibaba untuk
menanyakan hal tersebut. Setelah semuanya diceritakan Alibaba, Kasim segera
kembali kerumahnya untuk mempersiapkan kuda-kudanya. Ia pergi ke gua harta
dengan membawa 20 ekor keledai. Setibanya di depan gua, ia berteriak
"Alakazam ! Buka…", pintu batu gua bergerak terbuka. Kasim segera
masuk dan langsung mengarungkan emas dan harta yang ada didalam gua
sebanyak-banyaknya. Ketika ia hendak keluar, Kasim lupa mantra untuk membuka pintu,
ia berteriak apa saja dan mulai ketakutan. Tiba-tiba pintu gua bergerak, Kasim
merasa lega. Tapi ketika ia mau keluar, para penyamun sudah berada di luar,
mereka sama-sama terkejut. "Hei maling! Tangkap dia, bunuh!" teriak
kepala penyamun. "Tolong… saya jangan dibunuh", mohon Kasim. Para
penyamun yang kejam tidak memberi ampun kepada Kasim. Ia segera dibunuh.
Istri
Kasim yang menunggu dirumah mulai kuatir karena sudah seharian Kasim tidak
kunjung pulang. Akhirnya ia meminta bantuan Alibaba untuk menyusul saudaranya
tersebut. Alibaba segera pergi ke gua harta. Disana ia sangat terkejut karena
mendapati tubuh kakaknya sudah terpotong. Setibanya dirumah, istri Kasim
menangis sejadi-jadinya. Untuk membantu kakak iparnya itu Alibaba memberikan
sekantung uang emas kepadanya. Istri Kasim segera berhenti menangis dan
tersenyum, ia sudah lupa akan nasib suaminya yang malang. Alibaba membawa tubuh
Kasim ke tukang sepatu untuk menjahitnya kembali seperti semula. Setelah
selesai, Alibaba memberikan upah beberapa uang emas.
Dilain
tempat, di gua harta, para penyamun terkejut, karena mayat Kasim sudah tidak
ada lagi. "Tak salah lagi, pasti ada orang lain yang tahu tentang rahasia
gua ini, ayo kita cari dan bunuh dia!" kata sang kepala penyamun.
Merekapun mulai berkeliling pelosok kota. Ketika bertemu dengan seorang tukang
sepatu, mereka bertanya,"Apakah akhir-akhir ini ada orang yang kaya
mendadak ?". "Akulah orang itu, karena setelah menjahit mayat yang
terpotong, aku menjadi orang kaya". "Apa! Mayat! Siapa yang memintamu
melakukan itu?" Tanya mereka. "Tolong antarkan kami padanya!".
Setelah menerima uang dari penyamun, tukang sepatu mengantar mereka ke rumah
Alibaba. Si penyamun segera memberi tanda silang dipintu rumah Alibaba.
"Aku akan melaporkan pada ketua, dan nanti malam kami akan datang untuk
membunuhnya," kata si penyamun. Tetangga Alibaba, Morijana yang baru
pulang berbelanja melihat dan mendengar percakapan para penyamun.
Malam
harinya, Alibaba didatangi seorang penyamun yang menyamar menjadi seorang
pedagang minyak yang kemalaman dan memohon untuk menginap sehari dirumahnya.
Alibaba yang baik hati mempersilakan tamunya masuk dan memperlakukannya dengan
baik. Ia tidak mengenali wajah si kepala penyamun. Morijana, tetangga Alibaba
yang sedang berada diluar rumah, melihat dan mengenali wajah penyamun tersebut.
Ia berpikir keras bagaimana cara untuk memberitahu Alibaba. Akhirnya ia
mempunyai ide, dengan menyamar sebagai seorang penari. Ia pergi kerumah Alibaba
untuk menari. Ketika Alibaba, istri dan tamunya sedang menonton tarian,
Morijana dengan cepat melemparkan pedang kecil yang sengaja diselipkannya dibajunya
ke dada tamu Alibaba.
Alibaba
dan istrinya sangat terkejut, sebelum Alibaba bertanya, Morijana membuka
samarannya dan segera menceritakan semua yang telah dilihat dan didengarnya.
"Morijana, engkau telah menyelamatkan nyawa kami, terima kasih".
Setelah semuanya berlalu, Alibaba membagikan uang peninggalan para penyamun
kepada orang-orang miskin dan yang sangat memerlukannya.
SELESAI
Timun Emas
Renny Yaniar
|
Pada
zaman dahulu, hiduplah sepasang suami istri petani. Mereka tinggal di sebuah
desa di dekat hutan.
Mereka hidup bahagia.
Sayangnya mereka belum saja dikaruniai seorang anak
pun.
Setiap
hari mereka berdoa pada Yang Maha Kuasa. Mereka berdoa agar segera diberi
seorang anak. Suatu hari seorang raksasa
melewati tempat tinggal mereka. Raksasa itu mendengar doa suami istri itu.
Raksasa itu kemudian memberi mereka biji mentimun.
“Tanamlah
biji ini. Nanti kau akan mendapatkan seorang anak perempuan,” kata Raksasa.
“Terima kasih,
Raksasa,” kata suami istri itu. “Tapi ada syaratnya. Pada usia 17 tahun anak
itu harus kalian serahkan padaku,” sahut Raksasa. Suami istri itu sangat
merindukan seorang anak. Karena itu tanpa berpikir panjang mereka setuju.
Suami
istri petani itu kemudian menanam biji-biji mentimun itu. Setiap hari mereka
merawat tanaman yang mulai tumbuh itu dengan sebaik mungkin. Berbulan-bulan
kemudian tumbuhlah sebuah mentimun berwarna keemasan.
Buah
mentimun itu semakin lama semakin besar dan berat. Ketika buah itu masak,
mereka memetiknya. Dengan hati-hati mereka memotong buah itu. Betapa
terkejutnya mereka, di dalam buah itu mereka menemukan bayi perempuan yang
sangat cantik. Suami istri itu sangat bahagia. Mereka memberi nama bayi itu
Timun Mas.
Tahun
demi tahun berlalu. Timun Mas tumbuh menjadi gadis yang cantik. Kedua orang
tuanya sangat bangga padanya. Tapi mereka menjadi sangat takut. Karena pada
ulang tahun Timun Mas yang ke-17, sang raksasa datang kembali. Raksasa itu
menangih janji untuk mengambil Timun Mas.
Petani
itu mencoba tenang. “Tunggulah sebentar. Timun Mas sedang bermain. Istriku akan
memanggilnya,” katanya. Petani itu segera menemui anaknya. “Anakkku, ambillah
ini,” katanya sambil menyerahkan sebuah kantung kain. “Ini akan menolongmu melawan
Raksasa. Sekarang larilah secepat mungkin,” katanya. Maka Timun Mas pun segera
melarikan diri.
Suami
istri itu sedih atas kepergian Timun Mas. Tapi mereka tidak rela kalau anaknya
menjadi santapan Raksasa. Raksasa menunggu cukup lama. Ia menjadi tak sabar. Ia
tahu, telah dibohongi suami istri itu. Lalu ia pun menghancurkan pondok petani
itu. Lalu ia mengejar Timun Mas ke hutan.
Raksasa
segera berlari mengejar Timun Mas. Raksasa semakin dekat. Timun Mas segera
mengambil segenggam garam dari kantung kainnya. Lalu garam itu ditaburkan ke
arah Raksasa. Tiba-tiba sebuah laut
yang luas pun terhampar. Raksasa terpaksa berenang dengan susah payah.
Timun
Mas berlari lagi. Tapi kemudian Raksasa hampir berhasil menyusulnya. Timun Mas
kembali mengambil benda ajaib dari kantungnya. Ia mengambil segenggam cabai.
Cabai itu dilemparnya ke arah raksasa. Seketika pohon
dengan ranting dan duri yang tajam memerangkap Raksasa. Raksasa berteriak
kesakitan. Sementara Timun Mas berlari menyelamatkan diri.
Tapi
Raksasa sungguh kuat. Ia lagi-lagi hampir menangkap Timun Mas. Maka Timun Mas
pun mengeluarkan benda ajaib ketiga. Ia menebarkan biji-biji mentimun ajaib.
Seketika tumbuhlah kebun mentimun yang sangat luas. Raksasa sangat letih dan
kelaparan. Ia pun makan mentimun-mentimun yang segar itu dengan lahap. Karena
terlalu banyak makan, Raksasa tertidur.
Timun
Mas kembali melarikan diri. Ia berlari sekuat tenaga. Tapi lama kelamaan
tenaganya habis. Lebih celaka lagi karena Raksasa terbangun dari tidurnya.
Raksasa lagi-lagi hampir menangkapnya. Timun Mas sangat ketakutan. Ia pun
melemparkan senjatanya yang terakhir, segenggam terasi udang.
Lagi-lagi terjadi keajaiban. Sebuah danau lumpur yang luas terhampar. Raksasa
terjerembab ke dalamnya. Tangannya hampir menggapai Timun Mas. Tapi danau
lumpur itu menariknya ke dasar. Raksasa panik. Ia tak bisa bernapas, lalu
tenggelam.
Timun
Mas lega. Ia telah selamat. Timun Mas pun kembali ke rumah orang tuanya. Ayah
dan Ibu Timun Mas senang sekali melihat Timun Mas selamat. Mereka menyambutnya.
“Terima Kasih, Tuhan. Kau telah menyelamatkan anakku,” kata mereka gembira.
Sejak
saat itu Timun Mas dapat hidup tenang bersama orang tuanya. Mereka dapat hidup
bahagia tanpa ketakutan lagi.
SELESA
Suatu ketika, terdapat sebuah kerajaan
yang diperitah seorang raja yang bijaksana. Namanya Raja Henry. Raja Henry yang
telah tua itu ingin segera turun takhta.
Raja Henry memiliki seorang anak
bernama Pangeran Arthur. Putra mahkota itu baik hati, bertanggung jawab, serta
bijaksana. Ia juga dekat dengan rakyat. Itu sebabnya ia sangat cocok untuk
memerintah kerajaan itu. Tetapi sayangnya ia belum beristeri. Padahal salah
satu syarat untuk menjadi raja di kerajaan itu, pangeran harus memiliki isteri.
Kesibukan di istana pun dimulai.
Seluruh anggota kerajaan sibuk mencarikan wanita yang cocok untuk Pangeran.
Tapi, tak satu pun wanita yang dapat membuat Pangeran Arthur jatuh cinta.
Selalu saja ada kekurangannya di mata Pangeran Arthur.
Pada suatu hari, datanglah seorang
pemuda pengembara. Ia datang ke kerajaan dan menemui Pangeran yang sedang
melamun di taman istana.
“Selamat pagi Pangeran Arthur!” sapa
sang pengembara.
“Selamat pagi. Siapakah kau?” tanya
Pangeran Arthur.
“Aku pengembara biasa. Namaku Theo.
Kudengar, Pangeran sedang bingung memilih calon isteri?” tanya Theo.
“Ya, aku bingung sekali. Semua wanita
yang dikenalkan padaku, tidak ada yang menarik hati. Ada yang cantik, tapi
berkulit hitam. Ada yang putih, tetapi bertubuh pendek. Ada yang bertubuh
semampai, berwajah cantik, tetapi tidak bisa membaca. Aduuh!” keluh Pangeran
dengan wajah bingung.
“Hmm, bagaimana kalau kuajak Pangeran
berjalan-jalan sebentar. Siapa tahu di perjalanan nanti Pangeran bisa menemukan
jalan keluar,” ajak Theo sambil memandang wajah Pangeran yang tampak letih.
“Ooh, baiklah,” jawab Pangeran sambil
melangkah. Mereka berdua lalu berjalan-jalan ke luar istana.
Theo mengajak Pangeran ke daerah
pantai. Disana mereka berbincang-bincang dengan seorang nelayan. Tak lama
kemudian nelayan itu mengajak pangeran dan Theo ke rumahnya.
“Isteriku sedang memasak ikan bakar
yang lezat. Pasti Pangeran menyukainya,” ujar si nelayan.
Setibanya di rumah nelayan, terciumlah
aroma ikan bakar yang sangat lezat. Mereka duduk di teras rumah nelayan itu.
Tak lama kemudian keluarlah istri nelayan menghidangkan ikan bakar.
Istri nelayan itu bertubuh pendek.
Ketika sang istri masuk ke dalam, Theo bertanya, “Wahai Nelayan! Mengapa engkau
memilih istri yang bertubuh pendek?”
Nelayan itu tersenyum lalu menjawab,
“Aku mencintainya. Lagipula, walau tubuhnya pendek, hatinya sangat baik. Ia pun
pandai memasak.”
Theo dan Pangeran Arthur
mengangguk-angguk mengerti. Selesai makan, mereka berterima kasih dan
melanjutkan perjalanan.
Kini Theo dan Pangeran Arthur sampai
di rumah seorang petani. Disana mereka menumpang istirahat. Rumah Pak Tani
sangat bersih. Tak ada sedikit pun debu. Mereka beberapa saat bercakap dengan
Pak Tani. Lalu keluarlah isteri Pak Tani menyuguhkan minuman dan kue-kue kecil.
Bu Tani bertubuh sangat gemuk.
Pipinya tembam dan dagunya
berlipat-lipat. Setelah Bu Tani pergi ke sawah, Theo pun bertanya, “Pak Tani
yang baik hati. Mengapa kau memilih isteri yang gemuk?”
Pak Tani tersenyum dan menjawab dengan
suara bangga, “Ia adalah wanita yang rajin. Lihatlah, rumahku bersih sekali
bukan? Setiap hari ia membersihkannya dengan teliti. Lagipula, aku sangat
mencintainya.”
Pangeran dan Theo mengangguk-angguk
mengerti. Mereka lalu pamit, dan berjalan pulang ke Istana. Setibanya di
Istana, mereka bertemu seorang pelayan dan isterinya. Pelayan itu amat pendiam,
sedangkan isterinya cerewet sekali. Theo kembali bertanya,
“Pelayan, mengapa kau mau beristerikan
wanita secerewet dia?”
Pelayan menjawab sambil merangkul
isterinya, “Walau cerewet, dia sangat memperhatikanku. Dan aku sangat
mencintainya”.
Theo dan Pangeran mengangguk-angguk
mengerti. Lalu berjalan dan duduk di tepi kolam istana. Pangeran berkata pada
Theo,
“Kini aku mengerti. Tak ada manusia
yang sempurna. Begitu pula dengan calon isteriku. Yang penting, aku
mencintainya dan hatinya baik.”
Theo menarik nafas lega. Ia lalu
membuka rambutnya yang ternyata palsu. Rambut aslinya ternyata panjang dan
keemasan. Ia juga membuka kumis dan jenggot palsunya. Kini di hadapan Pangeran
ada seorang puteri yang cantik jelita. Puteri itu berkata,
“Pangeran, sebenarnya aku Puteri Rosa
dari negeri tetangga. Ibunda Pangeran mengundangku ke sini. Dan menyuruhku
melakukan semua hal tadi. Mungkin ibundamu ingin menyadarkanmu…”
Pangeran
sangat terkejut tetapi kemudian berkata,
“Akhirnya aku dapat menemukan wanita yang cocok untuk menjadi isteriku”. Mereka berdua akhirnya menikah dan hidup bahagia selamanya.
“Akhirnya aku dapat menemukan wanita yang cocok untuk menjadi isteriku”. Mereka berdua akhirnya menikah dan hidup bahagia selamanya.
(SELESAI)
Dahulu
ada orang yang bernama Mahomet, yang hidup sebagai nelayan dengan menangkap
ikan dan menjualnya. Suatu hari dia menderita sakit keras dan tidak mempunyai
harapan lagi untuk sembuh, hingga sebelum dia meninggal, dia berpesan kepada
istrinya bahwa istrinya harus tidak pernah membuka rahasia kepada anak
laki-laki satu-satunya yang saat itu masih sangat kecil bahwa selama ini mereka
hidup dari hasil penjualan ikan.
Ketika
nelayan itu meninggal dan waktu terus berlalu hingga anaknya beranjak dewasa
dan mulai berpikir untuk mendapatkan pekerjaan. Dia telah mencoba banyak hal,
tetapi dia tidak pernah berhasil. Setelah ibunya juga meninggal, anak itu
akhirnya menjadi sendirian dan hidup dalam kemiskinan, tanpa makanan dan uang.
Suatu hari dia masuk ke gudang rumahnya, berharap bahwa dia akan menemukan
sesuatu untuk dijual.
Dalam
pencariannya, dia menemukan jala ayahnya. Dengan melihat jala ini, dia akhirnya
sadar bahwa semasa muda, ayahnya adalah seorang nelayan. Lalu dia mengambil
jala itu keluar dan pergi ke laut untuk menangkap ikan. Karena kurang terlatih,
dia hanya dapat menangkap dua buah ikan, dimana yang satu dijualnya untuk
membeli roti dan kayu bakar. Ikan yang satunya lagi dimasak dengan kayu bakar
yang dibelinya tadi, dan dimakannya, saat itu dia memutuskan untuk menjadi
nelayan.
Suatu
hari dia menangkap seekor ikan yang sangat cantik sehingga dia tidak rela untuk
menjual atau memakannya sendiri. Dia lalu membawanya pulang ke rumah, menggali
sebuah sumur kecil, dan menempatkan ikan tersebut disana. Kemudian dia lalu
tidur karena kelelahan dan kelaparan dan berharap bahwa keesokan harinya dia
dapat bangun lebih pagi dan menangkap ikan yang lebih banyak.
Keesokan
hari, saat pergi menangkap ikan dan pulang di malam hari, dia mendapati
rumahnya menjadi sangat bersih dan telah di sapu selama dia tidak berada di
sana. Dia menyangka bahwa tetangganya datang dan membersihkan rumahnya, dan
atas kebaikan tetangganya membersihkan rumahnya, dia berdoa agar tetangganya
tersebut mendapat berkah dari Tuhan.
Keesokan
harinya, dia bangun seperti biasa, dengan gembira dia menengok ikannya yang ada
di sumur kecil dan pergi untuk bekerja lagi. Pada saat pulang di malam hari,
dia kembali menemukan bahwa rumahnya menjadi bersih dan rapih. Kemudian dia
menghibur dirinya sendiri dengan memandangi ikannya, lalu pergi ke kedai dimana
disana dia berpikir, siapa kira-kira yang telah merapihkan rumahnya. Saat
sedang berpikir, salah seorang temannya bertanya, apa yang dipikirkannya. Dan
anak nelayan tersebut menceritakan semua kisahnya. Akhirnya temannya berkata
bahwa dia harus mengunci rumahnya sebelum berangkat dan membawa kuncinya,
hingga tidak ada orang yang bisa masuk ke dalam.
Anak
nelayan tersebut akhrnya pulang ke rumah, dan keesokan harinya, dia pura-pura
akan keluar bekerja. Dia membuka pintu dan menutupnya kembali, kemudian dia
bersembunyi di dalam rumah. Saat itu juga dia melihat ikannya meloncat keluar
dari sumur dan menggoyangkan dirinya, berubah menjadi besar dan akhirnya kulit
ikan menjadi terkelupas dan anak nelayan tersebut melihat seorang wanita yang
sangat cantik jelita. Dengan cepat anak nelayan itu mengambil kulit ikan yang
terkelupas tadi dan membuangnya ke dalam perapian.
"Kamu
seharusnya tidak melakukan hal itu," kata wanita itu, "Tapi apa boleh
buat, yang terjadi biarlah terjadi dan tidak usah dipermasalahkan lagi."
Setelah
terbebas, wanita tersebut dilamar oleh si anak nelayan dan wanita tersebut
menyetujui lamarannya, segala persediaan telah di buat untuk pernikahan mereka.
Semua yang melihat wanita itu menjadi kagum dan terpana oleh kecantikannya dan
mereka berbisik-bisik bahwa wanita tersebut lebih pantas menjadi pengantin
seorang Padishah (Sultan). Kabar ini dengan cepat menyebar ke telinga Padishah,
lalu Padishah memerintahkan agar wanita tersebut di bawa ke hadapannya. Saat
Padishah melihat wanita yang sangat cantik jelita itu, dia langsung jatuh
cinta, dan bertujuan untuk menikahinya.
Karena
itu dia menemui anak nelayan tersebut dan berkata "Jika dalam empat-puluh
hari kamu bisa membangunkan saya istana dari emas dan permata di tengah-tengah
lautan, saya tidak akan mengambil wanita yang akan kamu nikahi itu, tetapi
apabila kamu gaga, saya akan mengambilnya dan membawanya pergi." Lalu anak
nelayan itu pulang ke rumah dengan hati sedih dan menangis. "Mengapa kamu
menangis?" tanya wanita yang merupakan peri ikan itu. Anak nelayan
tersebut lalu menceritakan apa yang diperintahkan oleh Padishah, tetapi wanita
itu berkata dengan gembira: "Jangan menangis, kita bisa menyelesaikannya.
Pergilah ke tempat dimana kamu pernah menangkap saya semasa menjadi ikan dan
lemparkan sebuah batu ke tempat itu. Sesosok jin akan muncul dan mengucapkan
kata 'apa perintahmu?' Katakan bahwa seorang wanita mengirimkan salam untuknya
dan meminta sebuah bantal. Dia akan memberikannya dan lemparkan bantal tersebut
ke laut dimana Padishah menginginkan istananya di bangun. Kemudian kembalilah
ke rumah."
Anak
nelayan tersebut mengikuti semua petunjuk, dan pada hari berikutnya, ketika dia
melihat ke depan dimana bantal tersebut dilemparkan dilaut, dia melihat sebuah
istana yang lebih indah dari apa yang Padishah gambarkan dan minta. Dengan
gembira mereka cepat-cepat menyampaikan ke istana bahwa tempat tersebut telah
di bangun.
Padishah
menjadi terkejut, tetapi karena tujuan Padishah sendiri bukanlah istana itu
melainkan untuk memisahkan anak nelayan dengan wanita yang diidam-idamkannya,
Padishah atau Sultan tersebut memberi perintah pada anak nelayan itu untuk
membuatkan jembatan dari Kristal menuju ke istananya. Selanjutnya anak nelayan
itu pulang dan menangis sedih kembali. Saat wanita yang sebenarnya adalah Peri
Ikan tersebut melihatnya bersedih dan mendengarkan keluhan dari anak nelayan
tersebut, dia berkata: "Pergilah ke tempat sesosok jin seperti sebelumnya,
dan mintalah padanya sebuah bantal guling, Ketika kamu sudah mendapatkannya,
buanglah ke tempat dimana istana itu berada." Kemudian anak nelayan
tersebut melakukan apa yang disuruhkan oleh calon istrinya dan begitu berbalik,
dia melihat sebuah jembatan yang indah dari kristal. Dia kemudian menemui
Padishah dan memberitahu bahwa tugasnya telah selesai.
Padishah
merasa tidak puas kemudian memerintahkan anak nelayan itu menyiapkan perjamuan
yang besar hingga seluruh penduduk dapat makan disana dan harus masih ada
makanan yang tersisa. Seperti sebelumnya, anak nelayan itu pulang dan
menceritakan hal itu kepada calon istrinya. Mendengar perintah dari Padishah
kepada anak nelayan tersebut, dia berkata "Pergilah kembali ke tempat
sesosok jin tadi, dan mintalah penggilingan kopi dari dia, tetapi hati-hatilah
agar jangan sampai menumpahkannya dalam perjalanan." Anak nelayan itu
kemudian berhasil mengambil penggilingan kopi dari jin tanpa mengalami
kesulitan. Tetapi saat membawanya pulang, dengan ceroboh dia menumpahkannya,
hingga tujuh dari delapan piring terjatuh keluar dari penggilingan kopi. Dia
lalu memungutnya dan membawanya pulang.
Pada hari yang
telah ditentukan, semua penduduk yang harus datang menurut undangan dari
Padishah, menuju ke rumah anak nelayan tersebut dan mengambil bagian dalam
perjamuan besar tersebut. Walaupun semua tamu dapat makan sekenyang-kenyangnya,
masih juga banyak makanan yang tersisa. Anak nelayan tersebut berhasil memenuhi
tugasnya kembali.
Karena
keras kepala, Padishah memerintahkan kembali anak nelayan itu untuk
menghasilkan seekor keledai dari sebuah telur. Anak nelayan tersebut memberi
tahu wanita calon istrinya itu, apa saja yang diperintahkan oleh Padishah, dan
wanita tersebut memberi tahu dia bahwa dia harus memberikan tiga telur ke sosok
Jin di tengah laut kemudian membawanya pulang kembali tanpa memecahkannya. Anak
Nelayan kemudian melakukan apa yang disuruhkan oleh wanita itu, tetapi di
tengah jalan pulang, dia menjatuhkan satu biji telur dan memecahkannya. Dari
telur tersebut, meloncatlah keluar seekor keledai besar, yang akhirnya lari dan
menceburkan dirinya ke laut sampai tidak kelihatan lagi.
Anak
nelayan tersebut tiba di rumah dengan aman dan membawa dua buah telur yang
tersisa. "Mana yang ketiga?" tanya wanita itu kepadanya. "Pecah
di perjalanan," katanya. "Kamu seharusnya lebih berhati-hati,"
kata wanita itu, "tapi apa yang telah terjadi, biarlah terjadi."
Kemudian
anak nelayan membawa telur-telur itu ke Padishah, dan meminta agar dia
diijinkan naik ke atas sebuah bangku untuk melemparkan telur tersebut di
lantai. Padishah mengijinkannya dan anak nelayan tersebut lalu berdiri diatas
bangku dan melemparkan telur ke lantai. Saat itu seekor keledai yang besar
meloncat keluar dari telur yang pecah dan jatuh ke atas Padishah yang langsung
mencoba menghindar untuk menyelamatkan diri. Anak nelayan itu kemudian
menyelamatkan Padishah dari bahaya, dan keledai yang tadi lalu berlari keluar
dan menceburkan dirinya ke dalam laut.
Dengan
rasa putus asa, Padishah atau sultan tadi mencari-cari hal yang mustahil dan
yang tidak mungkin dapat di kerjakan oleh anak nelayan. Dia lalu meminta agar
anak nelayan tersebut membawakan dia anak bayi yang umurnya sehari tetapi sudah
dapat berbicara dan berjalan.
Wanita
calon istri anak nelayan kemudian menyuruh anak nelayan tersebut ke sesosok jin
di tengah laut dan membawakan hadiah-hadiah dari wanita itu, dan memberitahunya
bahwa dia berharap dapat melihat kemenakannya yang masih bayi. Anak nelayan itu
kemudian pergi ke tengah laut dan memanggil sosok jin itu dan menyampaikan
pesannya. Sosok Jin itu berkata, "Dia masih berumur beberapa jam, ibunya
mungkin tidak mau memberikannya, tapi, tunggulah sebentar, saya akan mencoba
menanyakannya."
Singkat
kata, jin tersebut pergi dan segera muncul kembali dengan bayi yang baru lahir
ditangannya. Ketika anak nelayan tersebut melihat anak bayi itu, anak bayi itu
berlari ke pangkuannya dan berkata "Kita akan ke bibi saya ya?" Anak
nelayan mengiyakan dan membawa anak bayi itu ke rumah, dan ketika bayi tersebut
melihat wanita itu, dia berteriak "Bibi!" dan memeluknya. Anak
nelayan kemudian membawa bayi itu ke hadapan Padishah.
Saat
bayi tersebut dibawa ke hadapan Padishah, bayi tersebut naik ke pangkuan
Padishah dan memukul wajahnya, dan berkata: "Bagaimana mungkin orang dapat
membangun istana dari emas dan permata dalam empat-puluh hari? membangun
jembatan dari kristal juga dalam waktu yang sama? Bagaimana satu orang bisa
memberi makan seluruh penduduk yang ada di kerajaan ini? Bagaimana mungkin
keledai dapat dimunculkan dari sebuah telur?" setiap kalimat yang meluncur
dari mulut sang bayi diiringi dengan tamparan keras ke wajah Padishah, hingga
akhirnya Padishah berkata kepada anak nelayan bahwa dia boleh menikahi wanita
itu bila dia dapat menjauhkan Padishah dari bayi yang menampari wajahnya terus
menerus. Anak nelayan tersebut pulang sambil menggendong bayi itu ke rumah,
kemudian menikahi wanita itu dan mengadakan pesta selama empat puluh hari empat
puluh malam.
Alkisah,
pada jaman dahulu kala, Sang Unta bisa berbicara dengan manusia, suatu hari
Sang Unta diajak majikan-nya pergi mengembara, melintasi gurun gurun gersang
yang sangat panas pada siang hari dan dingin menusuk pada malam hari.
Malam
itu, Sang Unta tidur di luar tenda, sedangkan majikannya tidur nyenyak di
dalam.
Tengah
malam, Sang Unta membangunkan majikannya, dia bilang ” Tuan, saya kedinginan, ijinkanlah saya
menitipkan UJUNG KAKI saya masuk ke dalam tenda”.
Sang
majikan tidak keberatan, ujung kaki tidak akan mengganggu dia sama sekali. Satu
jam kemudian, Sang Unta kembali berkata :”Tuan, saya sangat kedinginan,
ijinkanlah KAKI DEPAN saya berada dalam tenda agar besok bisa kuat berjalan
membawa tuan di atas punggung saya”.
“Benar juga”,
pikir si majikan, maka dia kembali memberikan ijinnya.
Satu jam
kemudian Sang Unta berkata :”Hidung saya mulai ber-air, besok saya akan sakit
dan tidak bisa membawa Tuan di atas punggung saya, ijinkanlah KEPALA saya
berada dalam tenda, saya rasa besok saya akan kuat kembali “.
Begitulah
jam demi jam, hingga akhirnya pada pagi harinya Sang Unta sedang tidur nyenyak
di dalam tenda sedangkan tuannya menggigil kedinginan di luar tenda.
Si Pelit
|
Seorang
yang sangat pelit mengubur emasnya secara diam-diam di tempat yang
dirahasiakannya di tamannya. Setiap hari dia pergi ke tempat dimana dia
mengubur emasnya, menggalinya dan menghitungnya kembali satu-persatu untuk
memastikan bahwa tidak ada emasnya yang hilang. Dia sangat sering melakukan hal
itu sehingga seorang pencuri yang mengawasinya, dapat menebak apa yang
disembunyikan oleh si Pelit itu dan suatu malam, dengan diam-diam pencuri itu
menggali harta karun tersebut dan membawanya pergi.
Ketika
si Pelit menyadari kehilangan hartanya, dia menjadi sangat sedih dan putus asa.
Dia mengerang-erang sambil menarik-narik rambutnya.
Satu orang
pengembara kebetulan lewat di tempat itu mendengarnya menangis dan bertanya apa
saja yang terjadi.
"Emasku!
oh.. emasku!" kata si Pelit, "seseorang telah merampok saya!"
"Emasmu!
di dalam lubang itu? Mengapa kamu menyimpannya disana? Mengapa emas tersebut
tidak kamu simpan di dalam rumah dimana kamu dapat dengan mudah mengambilnya
saat kamu ingin membeli sesuatu?"
"Membeli
sesuatu?" teriak si Pelit dengan marah. "Saya tidak akan membeli
sesuatu dengan emas itu. Saya bahkan tidak pernah berpikir
untuk berbelanja sesuatu dengan emas itu." teriaknya lagi dengan
marah.
Pengembara
itu kemudian mengambil sebuah batu besar dan melemparkannya ke dalam lubang
harta karun yang telah kosong itu.
"Kalau
begitu," katanya lagi, "tutup dan kuburkan batu itu, nilainya
sama dengan hartamu yang telah hilang!"
SELESAI
Dahulu
kala, ada seorang pangeran yang menginginkan seorang Putri Raja, tetapi Putri
tersebut haruslah sempurna. Dia kemudian melakukan perjalanan mengelilingin
dunia hanya untuk mencari putri tersebut, tetapi dia selalu menemukan bahwa ada
sesuatu yang tidak sempurna pada setiap Putri Raja yang ditemuinya. Dia
menemukan banyak Putri Raja, tapi tak ada yang benar-benar dianggap sempurna
oleh Pangeran itu. Dengan putus asa akhirnya dia pulang kembali ke istananya
dan merasa sangat sedih karena tidak menemukan apa yang dicarinya.
Suatu
malam, terjadi hujan badai yang sangat keras; dimana kilat dan guntur beserta
hujan turun dengan deras sekali; malam itu sungguh menakutkan.
Ditengah-tengah
badai tiba-tiba seseorang mengetuk pintu istana, dan ayah Pangeran yang menjadi
Raja waktu itu, sendiri keluar membuka pintu untuk tamu tersebut.
Seorang
Putri yang sangat cantik berdiri di luar pintu, kedinginan dan basah kuyup
karena badai pada malam itu. Air mengalir dari rambut dan pakaiannya yang masih
basah; mengalir turun ke kaki dan sepatunya. Putri tersebut mengaku bahwa dia
adalah Putri yang sempurna.
"Kita akan
segera mengetahui apakah yang dikatakan oleh Putri tersebut benar atau
tidak," pikir sang Ratu, tetapi dia tidak berkata apa-apa. Dia masuk ke
dalam kamar tidur, mengeluarkan seprei yang mengalas tempat tidur yang akan
dipakai oleh sang Putri dan menaruh sebutir kacang polong di atas tempat tidur
itu. Kemudian dia mengambil dua puluh kasur dan meletakkannya di atas sebutir
kacang tersebut. Malam itu sang Putri tidur di atas ranjang tersebut. Di pagi
hari, mereka menanyakan apakah sang Putri tidur nyenyak di malam itu.
"Oh saya
sangat susah tidur!" kata sang Putri, "Saya sangat sulit untuk
memejamkan mata sepanjang malam! Saya tidak tahu apa yang ada pada ranjang itu,
saya merasa berbaring di atas sesuatu yang kasar, dan seluruh tubuh saya
pegal-pegal dan memar di pagi ini, sungguh menakutkan!"
Raja
dan Ratu langsung tahu bahwa sang Putri ini pastilah putri yang benar-benar
sempurna, karena hanya putri yang sempurna dapat merasakan sebutir kacang yang
ditempatkan di bawah dua puluh kasur an dilapisi dengan dua puluh selimut.
Hanya putri yang benar-benar sempurna mempunyai kulit yang begitu halus.
Pangeran
kemudian mengambilnya sebagai istri, dan sekarang dia telah menemukan putri
yang selama ini dicarinya.
SELESAI
Di
sebuah desa pinggiran hutan, tinggallah seorang janda dengan anak gadisnya yang
cantik. Meski berwajah rupawan, gadis itu amat rendah diri. Ia malu karena
warna kulitnya sering berubah-ubah. Kalau duduk di atas rumput, kulitnya
menjadi hijau. Kalau makan sawo, kulitnya berwarna coklat. Terkena sinar
matahari pagi, kulitnya akan menjadi kuning. Gadis itu paling merasa sedih jika
ia berada di tempat gelap. Kulitnya seketika menjadi hitam legam. Karena warna
kulitnya sering berubah-ubah, ia dijuluki Putri Warna-Warni.
Putri
Warna-Warni bersahabat baik dengan seekor Bunglon. Dimana ada Putri
Warna-Warni, di sebelahnya selalu ada sahabat karibnya itu. Mereka bersahabat
karena memiliki nasib yang sama. Kulit mereka sering berubah-ubah.
Suatu
hari, saat bulan purnama bersinar di langit, betapa cantiknya Putri
Warna-Warni. Kulitnya putih bersih, berkilau ditimpa cahaya rembulan yang
indah.
“Kamu cantik
sekali dalam cahaya rembulan, Putri Warna-Warni. Kamu tak ubahnya seperti
seorang putri kerajaan,” puji Bunglon sahabatnya.
Putri
Warna-Warni tersipu mendengar pujian itu.
“Namun aku akan
segera menjadi putri jelek kalau rembulan tak menyinari tubuhku,” kata Putri
Warna-Warni sedih. Wajahnya nampak mendung.
“Jangan begitu
Putri Warna-Warni. Kau tetap Putri yang baik hati meski kulitmu berubah menjadi
merah, kuning, hijau ataupun biru. Hatimu yang mulia tak akan berubah hanya
karena perubahan warna tersebut.”
Mendengar
kalimat bunglon sahabatnya, Putri Warna-Warni amat terharu.
Tanpa
mereka sadari, lewatlah seorang pangeran yang pulang kemalaman sehabis berburu.
Ia amat terpesona dan takjub melihat kemolekan Putri Warna-Warni. Belum pernah
dia melihat seorang putri secantik itu.
“Wahai Putri
cantik, kau tak pantas tinggal di pinggir hutan yang sepi ini. Tinggallah di istanaku.
Kau akan kuangkat jadi permaisuriku. Tunggulah tiga hari lagi, pengawalku akan
menjemputmu dengan kereta yang ditarik empat ekor kuda putih.”
Hati
Putri Warna-Warni berbunga-bunga mendengar perkataan sang pangeran. Sebentar
lagi ia akan menjadi permaisuri. Tak lagi hidup miskin, dan tak perlu tinggal
di pinggir hutan lagi. Namun si bunglon sangat sedih, karena merasa akan
ditinggal sendiri.
Kegembiraan
Putri Warna-Warni sampai terbawa ke mimpinya. Ia bermimpi pesta pernikahannya
berlangsung selama tujuh hari tujuh malam. Ada berbagai macam hiburan. Berbagai
macam makanan dan minuman dihidangkan. Namun sang pangeran tampak kecewa
setelah tahu warna kulit permaisurinya berubah-ubah terus. Kadang terlihat
cantik, kadang terlihat jelek.
Mimpi
itu membuat Putri Warna-Warni gelisah. Keesokan harinya, kembali bermimpi.
Seorang pertapa sakti muncul di hadapannya. Pertapa itu berkata,
“Mudah sekali
menyembuhkan perubahan warna kulitmu itu Putri Warna-Warni. Makanlah daging
Bunglon sahabatmu itu. Maka kulitmu akan normal kembali.
Putri Warna-Warni menceritakan
mimpinya itu kepada Bunglon sahabatnya. Si Bunglon malah tersenyum
mendengarnya, dan berkata,
“Mimpiku juga
sama dengan mimpimu, Putri Warna-Warni. Seorang pertapa sakti memintaku untuk
bersedia memberikan tubuhku buat kesembuhanmu. Aku bersedia membantumu, Putri!
Asal hidupmu bahagia bersama Pangeran itu,” ujar Bunglon tulus.
Putri
Warna-Warni termenung.
“Ayo, Putri
Warna-Warni. Nanti malam, bakarlah tubuhku untuk hidangan makan malammu,”
lagi-lagi Bunglon itu menawarkan diri.
Putri
Warna-Warni terharu.
“Tidak, Bunglon
sahabatku. Aku tidak mau meraih kebahagiaan dengan mengorbankan dirimu. Kau
adalah sahabatku yang terbaik. Besok kalau pengawal pangeran itu datang,
biarlah kutolak ajakannya. Aku tidak mau menjadi permaisuri. Biarlah aku
menjadi Putri Warna-Warni seperti ini saja. Asal kau tetap disampingku, Bunglon
sahabatku.”
Dua sahabat itu
akhirnya berangkulan bahagia.
(SELESAI)
Dahulu kala di Jepang, hiduplah
seorang pemuda bernama Hikaru. Kedua orang tua mereka telah lama meninggal.
Hikaru sangat rajin membantu kakaknya menjual kayu di pasar. Tiap hari, ia
masuk ke hutan untuk mencari kayu.
Suatu hari, saat ia berada di hutan,
tiba-tiba terdengar rintihan kesakitan. Hikaru segera mencari asal suara itu.
Dan, tampak seorang kakek tertindih dahan besar.
“Nak!” pinta si kakek saat melihat
Hikaru. “Tolong aku! Aku sudah tak tahan lagi.”
Hikaru segera menolong kakek itu. Ia
memakai sebatang kayu untuk mencungkil dahan pohon.
“Kek, aku akan menghitung sampai tiga.
Pada hitungan ke tiga, Kakek lompat keluar ya!” Si kakek mengangguk.
Dengan sekuat tenaga, Hikaru
mencungkil dahan besar itu. Akhirnya si kakek berhasil keluar.
“Kau sangat baik, Nak! Hadiah apa yang
kau inginkan?” tanya si kakek gembira.
“Hho… hho,” Hikaru terengah-engah.
“Tidak perlu, Kek. Aku ikhlas menolong.”
Kakek itu lalu mengambil sebuah
gendang kecil dari kayu. Di kedua sisinya bergambar naga yang terbuat dari
kulit kambing. Yang satu berlatar belakang warna kuning, yang satu lagi ungu.
“Aku hanya punya gendang ajaib ini.
Terimalah!”
“Ajaib?” tanya Hikaru heran.
Tetapi pertanyaan tidak dijawab. Sang
kakek langsung hilang sekejap mata.
“Hiii… hantuuu…” Ia berlari keluar
hutan.
Esoknya Hikaru tak mau lagi ke hutan.
Takut mengalami hal seperti kemarin. Sorenya, Hikaru tidur-tiduran di bukit
belakang gubuknya. Ia termenung memikirkan bagaimana cara membantu kakaknya
selagi tidak ke hutan. Mendadak terbayang wajah kakek yang pernah ditolongnya.
“Tak mungkin ia mencelakakanku. Aku
kan pernah menolongnya,” pikir Hikaru lalu merogoh gendang pemberian si kakek
dari tasnya. “Apa benar ini gendang ajaib?” Hikaru mengamati gendang itu.
Ia memukul sisi yang kuning. “Tidak
terjadi apa-apa?”
Ia memukul sisi ungu satu kali. Tidak
ada yang berubah. Dia memukul sisi ungu sekali lagi. Sekonyong-konyong
hidungnya panjang.
“Aaah!” Hikaru kaget dan melepas
gendang itu. “Hidungku! Kenapa panjang begini?” ia panik.
Ia meraih kembali gendang tadi. Dengan
ragu ia memukul sisi kuning. Mendadak hidungnya yang panjang memendek. Akhirnya
normal kembali. Hikaru lega.
“Ah, aku mengerti sekarang. Ini adalah
Gendang Pemanjang Hidung yang ramai dibicarakan orang. Ah, asyik juga untuk
mainan!”
Hikaru memanjangkan dan memendekkan
hidung sambil tidur-tiduran. Ia mengarahkan hidungnya ke langit. Ia menabuh
gendang itu bertalu-talu sampai hidungnya menembus awan. Setelah puas, ia
memukul sisi kuning untuk menormalkan hidungnya.
“Lho, kok tidak bisa balik?!” serunya
panik. Hari mulai gelap. Hikaru mencoba memukul gendang itu sebanyak mungkin.
Sekonyong-konyong tubuhnya melesat cepat.
“Aaaah!” teriak Hikaru.
Beberapa saat kemudian, setelah
menembus awan, ia melihat sebuah istana kecil di langit. Tubuhnya berhenti
melesat dan hidungnya normal kembali. Namun ia melihat ada ikatan tali di ujung
hidungnya. Rupanya ada seseorang yang mengikat hidungnya di sebuah tiang. Di
dekat rumah itu ada pria berjanggut sedang menyiram air. “Hei!” seru Hikaru.
“Kenapa kau mengikat hidungku?”
Orang itu tergopoh-gopoh menghampiri
Hikaru.
“Oh, maaf. Aku tidak tahu itu
hidungmu. Kukira itu tangga buatan dewa langit untuk turun ke bumi.”
“Jadi kau dewa, ya?” Hikaru mengamati
orang itu.
“Betul, aku Dewa Hujan, ” ujarnya
memperkenalkan diri.
“Kau siapa, manusia bumi?”
“Saya Hikaru!”
“Begini saja,” tawarnya. “Kamu tinggal
di sini, membantuku memberi hujan pada penduduk bumi. Bagaimana?”
Setelah berpikir, Hikaru berkata,
“Baiklah, Dewa. Tapi hanya untuk sementara kan. Soalnya aku harus membantu
kakakku mencari nafkah.”
Esok siangnya, Hikaru mulai membantu
Dewa menurunkan hujan ke bumi. “Aku mau menurunkan hujan di desaku!” pintanya
pada Dewa. Sang Dewa mengangguk. Dari atas awan ia membuang air langit dengan
baskom besar. “Horeee!” teriaknya ketika melihat penduduk di desanya kegirangan
menyambut hujan. “Eh, itu kakakku!” serunya. Tampak kakaknya lari tunggang
langgang menyelamatkan pakaian yang sedang dijemur.
Tiba-tiba, “Aaaaah!” karena kurang
hati-hati, pijakan kakinya lepas dari awan. Hikaru terjatuh. Badannya
melayang-layang di angkasa. Ia diterbangkan angin ke negeri yang jauh sekali.
Buuk! Hikaru jatuh tepat di atas
jerami kandang kuda istana. “Waduh, sakit!” jeritnya. “Negeri apa, ini?”
tanyanya dalam hati. Ia berjalan mengelilingi tempat itu.
Tiba-tiba tampak seorang putri cantik
melintasi taman.
“Wah, cantik sekali dia!” Hikaru
bersembunyi di balik pohon. “Andai ia jadi istriku!”
Hikaru mendapat akal. Ia mengambil
gendangnya dan memukul sisi yang ungu. Seketika hidung sang putri menjadi
panjang. Putri pun pingsan melihat hidungnya.
Sore itu juga, disebarkan pengumuman
oleh kerajaan. Bunyinya, “Barang siapa yang bisa mengobati sakit putri, jika
lelaki akan dijadikan suami, jika perempuan akan dijadikan sudara.”
Berbondong-bondong tabib datang ke
istana. Akan tetapi semua menyerah. Salah seorang dukun berkata, “Ini hanya
bisa disembuhkan dengan gendang ajaib.”
Hikaru lalu datang ke istana. Di pintu
gerbang ia tidak diperbolehkan masuk ke istana. Penjaga gerbang menyangka
Hiraku hanya bermain-main. Sebab tidak seperti tabib. Tetapi, setelah
memperlihatkan gendangnya, ia lantas diperbolehkan masuk. Hikaru memukul sekali
sisi kuning gendangnya. Hidung sang putri langsung memendek. Dan sesuai janji,
raja menikahkan putrinya dengan Hikaru. Tentu saja Hikaru tak lupa menjemput
kakaknya, dan mereka hidup bahagia di istana.
(SELESAI)
Wahyu
SetyoRini
|
Di
suatu kota, ada sebuah toko milik kakek Gepeto pembuat boneka. “Alangkah
senangnya kalau boneka manis ini menjadi seorang anak.”
Setelah
kakek berbisik demikian, terjadi satu keajaiban. “Selamat siang, Papa.” Boneka
itu berbicara dan mulai berjalan. Dengan amat gembira, kakek berkata, “Mulai
hari ini, engkau anakku. Kau kuberi nama Pinokio.” “Agar kau menjadi anak
pintar, besok kau mulai sekolah , ya!”
Keesokan
paginya, Kakek Gepeto menjual pakaiannya dan dengan uang itu ia membelikan
Pinokio sebuah buku ABC. “Belajarlah baik-baik dengan buku ini!” “Terima kasih,
Papa. Aku pergi sekolah, dan akan belajar dengan giat.” “Hati-hati ya!” pesan
kakek.
Tetapi
dari arah yang berlawanan dengan sekolahnya terdengar suara, “Drum, dum, dum,
dum.” Ketika Pinokio mendekat ternyata itu adalah tenda sandiwara boneka.
Pinokio lalu menjual buku ABC-nya, membeli karcis dengan uang itu dan masuk ke
dalam. Di dalam tenda sandiwara, sebuah boneka anak perempuan akan telah
dikepung prajurit berpedang. “Lihat! Jahat sekali prajurit itu…” Pinokio naik
ke panggung, dan menerjang boneka prajurit. Tali boneka itu putus dan jatuhlah
boneka itu. Pemilik sandiwara yang marah segera menangkap Pinokio dan akan
melemparnya ke api. “Maafkan aku. Kalau aku dibakar, kasihan papa yang sudah
tua,” kata Pinokio. “Aku berjanji pada papa untuk belajar di sekolah dengan
rajin. Karena iba, pemilik sandiwara melepaskan Pinokio dan memberinya beberapa
keping uang. “Gunakan uang ini untuk membeli buku-buku pelajaranmu,” kata
pemilik sandiwara tersebut.
Kemudian
Pinokio pergi untuk membeli buku. Tetapi di tengah jalan, Rubah dan Kucing
melihat keadaan itu. Mereka menyapa Pinokio dengan ramah. “Selamat siang,
Pinokio yang baik. Kalau uang emas itu bertambah banyak, pasti papamu lebih
senang, ya!”
Bagaimana
cara menambah uang emas ini?” Tanya pinokio. “Gampang. Kau bisa menanamnya di
bawah pohon ajaib. Lalu tidurlah, maka pada saat kau bangun nanti, pohon itu
akan berbuah banyak sekali uang emas.” Kemudian Pinokio diantar oleh Rubah dan
Kucing, menanam uang emasnya di bawah pohon ajaib. Ketika Pinokio mulai tidur
siang. Rubah dan Kucing menggali uang emas itu dan menggantung Pinokio di pohon,
setelah itu mereka pergi.
Tolong…..”
teriak Pinokio ketika sudah bangun dari tidurnya dan mengetahui dirinya
tergantung di sebuah pohon. Seorang Dewi yang melihat keadaan Pinokio, mengutus
burung elang untuk menolongnya. Burung elang membawa Pinokio dengan paruhnya,
dan membawanya ke ruangan di mana Dewi telah menunggu. Dewi menidurkan Pinokio
di tempat tidur dan memberinya obat.
Nah,
minumlah obat ini maka kau akan cepat sembuh. Setelah itu pulang, ya!” kata
Dewi. “Lebih baik mati daripada minum obat yang pahit.” Pinokio terus menolak.
Akhirnya Dewi menjadi marah, “Plak plak!” Ia menampar. Lalu datanglah empat
ekor kelinci yang menggotong peti mati. Pinokio terkejut sekali, cepat-cepat ia
meminum obat yang pahit itu. “Pinokio, mengapa kau tidak pergi ke seolah?”
Tanya Dewi. “Hmm.. di jalan, aku menjual buku-ku untuk anak miskin yang
kelaparan dan membelikannya roti. Karena itu aku tidak bisa pergi ke sekolah….”
Tiba-tiba saja “syuut” hidung Pinokio mulai memanjang. “Pinokio!” Kalau kau
berbohong, hidungmu akan memanjang sampai ke langit.” “Maafkan aku. Aku tak
akan berbohong lagi.” Pinokio meminta maaf. Dewi tersenyum, dan memerintahkan
burung pelatuk mematuki hidung Pinokio, mengembalikannya ke bentuk semula. “Ayo
cepat kembali ke rumah, dan belajar ke sekolah!”
Di
tengah perjalanan pulang, Pinokio bertemu dengan kereta dunia bermain. Pinokio
tidak bisa menahan diri untuk tidak naik. Pinokio telah lupa akan janjinya pada
Dewi, setiap hari ia hanya bermain-main saja.
Ada
suatu hari, Pinokio terkejut melihat wajahnya yang terpantuk di permukaan air.
“Ah! Telingaku jadi telinga keledai! Aku pun berbuntut!” teriaknya. Ternyata
anak-anak lain pun telah menjadi keledai. Akhirnya Pinokio pun menjadi seekor
keledai dan dijual ke sirkus. Pinokio telah melanggar janjinya kepada Dewi,
maka ia mendapat hukuman.
Setiap
hari ia dipecut, dan harus melompati lingkaran api yang panas. Walaupun takut,
Pinokio tetap meloncat. Akhirnya ia terjatuh sampai kakinya patah. Pemilik
sirkus menjadi marah. “Keledai dungu! Lebih baik dibuang ke laut.” Kemudian
Pinokio dilempar ke laut. “Blup blup blup” Pinokio tenggelam ke dasar laut,
ikan-ikan datang menggigitnya. Lalu kulit keledai terlepas, dan dari dalamnya
muncul si Pinokio. “Terima kasih ikan-ikan.” Sebenarnya Dewi melihat bahwa
Pinokio telah menyadari kesalahannya dan memerintahkan ikan-ikan untuk menolongnya.
Sambil
berenang, Pinokio berjanji dalam hati “Kali ini setelah aku pulang ke rumah aku
akan ke sekolah dan belajar dengan giat. Aku juga akan membantu pekerjaan di
rumah dan menjaga papa.” Pada saat itu “Hrrr…., seekor ikan hiu besar datang
mendekat dengan suara yang menyeramkan. “Haaa…. Tolong.” Pinokio ditelan oleh
ikan hiu yang besar itu. “Hap” Di dalam perut hiu benar-benar gelap gulita.
Tetapi di kejauhan terlihat seberkas sinar. Ternyata itu adalah kakek Gepeto.
Papa!” “Pinokio!” Mereka berdua saling
berpelukan. “Aku pergi ke laut untuk mencarimu, dan aku ditelan hiu ini. Tapi
ternyata di sini aku bertemu denganmu. Untung kita selamat!”
Ayo,kita
keluar dari sini!” “Badanku sudah lemah. Kau saja yang pergi.” “Aku tidak mau
kalau tidak bersama-sama Papa.” Ketika ikan hiu sedang tidur, Pinokio melarikan
diri dari mulut hiu dengan menggendong kakek Gepeto di punggungnya.
Dengan
sekuat tenaga ia berenang sampai akhirnya tiba di pantai. Mereka menyewa sebuah
pondok petani terdekat. Sambil merawat kakek, Pinokio bekerja setiap hari.
Akhirnya kakek menjadi sehat kembali. “Pinokio, karena kaulah aku jadi sehat seperti
ini. Terima kasih ya!”
Papa,
mulai sekarang aku akan lebih menurut lagi.” Tiba-tiba saja sekeliling mereka
menjadi bersinar terang,” Pinokio, kau telah menjadi seorang anak yang baik.”
Dewi muncul, dan merubah Pinokio si boneka menjadi seorang anak manusia.
SELESAI
Bawang Merah Bawang Putih
Samsuni
|
Alkisah, di Kampung Dadapan,
Yogyakarta, hidup sebuah keluarga kecil yang terdiri dari ayah, ibu, dan
seorang anak gadis mereka yang bernama Bawang Putih. Meskipun sang ayah hanya
pedagang kecil, keluarga kecil itu senantiasa hidup rukun, damai, dan bahagia.
Namun sayang, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama karena sang ibu harus
pergi untuk selama-lamanya akibat terserang penyakit yang menyebabkan nyawanya
melayang. Kepergian sang ibu benar-benar membuat anggota keluarga yang
ditinggalkan amat berduka, terutama Bawang Putih.
Sejak kehilangan sosok ibu yang begitu
sayang kepadanya, Bawang Putih merasa amat kesepian dan kerap menyendiri di
kamarnya. Untung di desa itu ada seorang janda bernama Mbok Randha yang sering
berkunjung ke rumahnya untuk membawa makanan atau sekadar menemani Bawang Putih
dan ayahnya mengobrol. Bahkan, ia kerap membantu Bawang Putih membersihkan
rumah dan memasak.
Keberadaan Mbok Randha telah
meringankan beban keluarga Bawang Putih. Hal itulah yang membuat ayah Bawang
Putih tertarik untuk menikahi Mbok Randha agar putrinya tidak kesepian lagi.
Sebagai ayah yang bijak, ia tidak mau bertindak sendiri dengan meminta
pertimbangan kepada putri semata wayangnya.
“Bawang Putih, Putriku. Ayah melihat
Mbok Randha adalah sosok ibu yang baik. Barangkali akan lebih baik jika ia
menjadi anggota keluarga kita,” kata ayah Bawang Putih. “Bagaimana pendapatmu,
Anakku?”
Bawang Putih memahami maksud ayahnya.
Ia pun merasa bahwa kehadiran Mbok Randha dalam keluarganya akan membuat
suasana menjadi ramai, sehingga dirinya tidak lagi kesepian. Apalagi Mbak
Randha mempunyai seorang anak gadis yang bernama Bawang Merah dan sebaya
dengannya. Dengan pertimbangan itu, Bawang Putih pun rela jika ayahnya menikah
dengan Mbok Randha.
Setelah menikah, Mbok Randha bersama
putrinya tinggal di rumah Bawang Putih. Pada mulanya, Mbok Randha dan Bawang
Merah sangat baik kepada Bawang Putih, terutama saat ayahnya ada di rumah.
Namun, setelah beberapa lama tinggal di rumah itu, sifat asli mereka yang kejam
dan bengis mulai kelihatan. Ketika sang ayah sedang pergi berdagang, mereka
kerap memarahi Bawang Putih dan memberinya pekerjaan berat. Bahkan, Mbok Randha
tidak segan-segan menampar Bawang Putih jika sedang beristirahat barang sejenak
pun untuk melepaskan lelah. Tidak hanya itu, setiap hari Bawang Putih hanya
diperbolehkan makan sekali, itu pun berupa kerak nasi dengan air dan garam
sebagai lauk.
Di sisi lain, Mbok Randha amat sayang
dan memanjakan Bawang Merah sehingga semua pekerjaan rumah tangga dibebankan
kepada Bawang Putih. Bahkan, Bawang Merah juga kerap memerintahnya. Ketika
Bawang Putih sedang sibuk bekerja, ia dan ibunya hanya duduk-duduk santai dan
sesekali mengawasi hasil pekerjaan Bawang Putih kalau-kalau ada yang kurang
beres. Meskipun diperlakukan demikian, gadis yang malang itu tetap tabah
menghadapinya.
Suatu hari, ayah Bawang Putih jatuh
sakit dan akhirnya meninggal dunia. Sejak itulah, Bawang Merah dan ibunya
semakin berkuasa dan semena-mena terhadap Bawang Putih. Setiap hari gadis
malang itu seakan tidak pernah beristirahat. Ia harus bangun sebelum matahari
terbit untuk menyiapkan segera keperluan mereka seperti menyiapkan air mandi
dan sarapan untuk mereka, memberi makan ternak, membersihkan rumah, mencuci
pakaian di sungai, dan pekerjaan rumah tangga lainnya.
Pada suatu pagi, seperti biasanya
setelah usai membereskan rumah, Bawang Putih pergi ke sungai dengan membawa
satu bakul pakaian untuk dicuci. Setiba di sungai, ia pun mulai mencuci pakaian
kotor tersebut satu persatu. Namun, Bawang Putih tidak menyadari salah satu
dari cuciannya hanyut terbawa arus. Celakanya, pakaian yang hanyut itu adalah
baju kesayangan Bawang Merah. Ia baru menyadari hal itu setelah selesai
mencuci. Dengan panik, Bawang Putih segera menyusuri sungai untuk mencari baju
itu. Sudah jauh ia berjalan ke hilir, namun belum juga menemukannya.
“Aduh, matilah aku!” gumam Bawang Putih
dengan cemas, “Apa jadinya nanti jika ibu tiriku dan Bawang Merah mengetahui
hal ini?”
Bawang Putih benar-benar kebingungan.
Karena hari sudah siang, ia pun memutuskan untuk segera pulang karena belum
menyiapkan makan siang. Setiba di rumah, ia dengan ketakutan menceritakan
kejadian yang baru saja dialami kepada ibu tirinya. Betapa murkanya Mbok Randha
saat mendengar cerita itu. Ia pun segera mengambil rotan dan memukul Bawang
Putih hingga tubuhnya berwarna merah dan lebam.
“Dasar, anak ceroboh! Cepat cari baju
itu dan jangan kembali sebelum kau menemukannya!” hardik ibu tirinya yang kejam
itu.
Bawang Putih dengan hati sedih terpaksa
kembali ke sungai untuk mencari baju itu. Di sepanjang perjalanan, air mata
gadis itu terus mengalir membasahi pipinya karena tidak kuat lagi menahan rasa
sakit di seluruh badannya. Setiba di sungai, ia pun mencari baju itu mulai dari
tempatnya mencuci tadi hingga ke hilir sungai. Sudah cukup jauh ia berjalan,
namun belum juga menemukan baju itu. Meskipun demikian, ia terus menyusuri
sungai hingga bertemu dengan seorang penggembala sedang memandikan kerbaunya.
“Permisi, Paman! Apakah paman melihat
ada baju berwarna merah yang hanyut di sungai ini?” tanya Bawang Putih dengan
sopan.
“Tidak, Nak. Coba kamu tanyakan pada
orang yang sedang memancing itu,” ujar penggembala itu.
“Terima kasih, Paman,” ucap Bawang
Putih seraya menghampiri orang yang sedang memancing di tepi sungai. Namun
rupanya nelayan itu juga tidak melihat baju yang sedang dicari Bawang Putih.
Demikian Bawang Putih selalu bertanya
kepada setiap orang yang ia temui di sepanjang aliran sungai itu dan tak
seorang pun yang melihat baju itu. Hari sudah sore. Gadis itu terus menyusuri
sungai dengan berjalan sempoyongan hingga akhirnya bertemu dengan seorang nenek
yang sedang mencuci beras. Mulanya, Bawang Putih takut mendekati nenek itu
karena tubuhnya amat besar. Rupanya, nenek itu adalah manusia raksasa. Namanya Nini Buto Ijo
yang tinggal di pinggir sebuah hutan. Bawang Putih kemudian memberanikan diri
untuk bertanya kepada nenek raksasa itu.
“Ma... maaf, Nek. Apakah nenek melihat baju
yang hanyut di sungai ini?” tanya Bawang Putih dengan gugup.
“Apakah baju yang kamu cari itu warnanya
merah kembang-kembang?” sang nenek balik bertanya.
“Benar, Nek,” jawab Bawang Putih,
“Apakah nenek menemukannya?”
“Iya, Nduk Tadi kutemukan tersangkut di
batu,” jawab nenek itu, “Sebaiknya kamu menginap di rumah nenek karena hari
sudah gelap.”
Akhirnya, Bawang Putih menuruti ajakan
nenek raksasa itu. Setiba di rumah nenek, ia diajak untuk membantu memasak.
“Aku akan mengembalikan bajumu, tapi
dengan syarat kamu harus membantuku memasak,” ujar nenek.
“Baik, Nek,” jawab Bawang Putih
menyanggupi.
Alangkah terkejutnya Bawang Putih
karena peralatan memasak nenek amat mengerikan. Centongnya terbuat dari tulang
tangan manusia dan gayungnya pun terbuat dari tulang-tulang. Meskipun agak
sedikit ngeri, ia tetap memasak dengan tenang. Selain itu, ia juga membantu
mengerjakan pekerjaan rumah nenek hingga larut malam.
Keesokan harinya, Bawang Putih pun
mohon pamit kepada Nini Buto Ijo. Sesuai dengan janjinya, nenek itu
mengembalikan baju Bawang Putih. Selain itu, sang nenek juga memberinya hadiah
dengan menyuruh Bawang Putih memilih salah satu dari dua buah labu kuning yang
ukurannya berbeda, satu berukuran besar sedangkan yang satunya berukuran kecil.
Bawang Putih bukanlah gadis yang serakah sehingga ia hanya memilih labu yang
lebih kecil.
“Terima kasih, Nek,” ucap Bawang Putih.
“Sama-sama, Nduk! Tapi ingat, kamu baru boleh
membuka labu itu setelah kamu sampai di rumah,” ujar Nini.
“Baik, Nini,” jawab Bawang Putih seraya
berpamitan.
Sesampai di rumahnya, Bawang Putih
segera menyerahkan baju yang berhasil ditemukannya kepada Bawang Merah. Setelah
itu, ia bergegas ke dapur untuk memasak sayur labu. Betapa terkejutnya ia
setelah membelah buah itu. Ternyata, labu kuning itu berisi perhiasan emas
permata. Ibu tirinya dan Bawang Merah yang mengetahui hal itu segera merampas
perhiasan tersebut.
“Hai, Bawang Putih! Ceritakan bagaimana
caramu bisa mendapatkan perhiasan sebanyak ini!” seru ibu tirinya dengan nada
memaksa.
Bawang Putih pun menceritakan semua
dengan sejujurnya. Setelah mendengar cerita itu, Mbok Randha segera
memerintahkan putri kesayangannya Bawang Merah untuk melakukan hal yang sama.
Singkat cerita, Bawang Merah pun sampai
di rumah Nini Buto Ijo. Saat disuruh memasak, ia tidak bisa melakukannya karena
jijik menyentuh peralatan memasak si nenek yang semuanya terbuat dari
tulang-tulang. Ia hanya bisa membantu mengerjakan pekerjaan rumah nenek yang
lain, seperti menyapu dan mengepel. Itu pun dilakukannya dengan asal-asalan
sehingga hasilnya pun tidak bersih.
Meski demikian, Nini Buto Ijo tetap
akan memberinya hadiah. Bawang Merah pun disuruh memilih salah satu dari dua
labu kuning yang ditawarkan oleh nenek. Karena sifatnya yang serakah, ia dengan
cepat memilih labu yang besar. Setelah itu, ia segera pulang ke rumahnya dengan
penuh harapan bahwa ia dan ibunya akan menjadi kaya raya karena mengira labu
yang telah dipilihnya berisi lebih banyak perhiasan. Karena itu, Bawang Merah
menjadi lupa diri. Jangankan berpamitan, berterima kasih kepada nenek itu pun
tidak ia lakukan.
Setiba di rumah, Bawang Merah bersama
ibunya segera membelah labuh itu. Begitu labu itu terbelah, bukannya perhiasan
emas permata yang mereka dapatkan, melainkan binatang-binatang berbisa seperti
ular, kalajengking, dan kelabang. Hewan-hewan beracun itu lantas menyerang ibu
dan anak yang serakah itu hingga tewas. Akhirnya, Bawang Putih berhasil mendapatkan
kembali semua perhiasan emas dan permatanya, kemudian menjualnya sedikit demi
sedikit untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
SELESAI
Suak Air Mengubuk
(Si Miskin Yang Tamak)
Adi Cita
|
Alkisah, pada zaman dahulu kala, di Negeri
Rantau Baru, Pelalawan, Riau, hiduplah sepasang suami-istri yang sangat miskin.
Penghasilan mereka yang sangat kecil tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup
sehari-hari. Kadang makan kadang tidak. Pakaian pun hanya yang melekat di
badanlah yang mereka miliki. Semakin hari kehidupan mereka semakin
memprihatinkan.
Pada suatu malam, si Miskin bermimpi bertemu dengan
seorang kakek. Kakek itu memberikan seutas tali kepadanya seraya berkata,
“Besok pagi bawalah sampan besar ke sebuah suak yang tak jauh dari
Sungai Sepunjung.” Belum sempat si Miskin menjawab, kakek itu tiba-tiba
menghilang dari pandangannya. Si Miskin pun terjaga dari tidurnya. Ia
mengusap-usap matanya tiga kali, seakan ia tak percaya yang baru saja
dialaminya. “Apa maksud si kakek menyuruh saya ke suak itu?” tanya si
Miskin dalam hati. Karena hari masih gelap, si Miskin pun melanjutkan tidurnya.
Keesokan harinya, si Miskin berangkat menuju suak
seperti yang dikatakan si Kakek dalam mimpinya semalam. Tak lupa dibawanya
sebuah sampan besar. Sambil mengayuh sampan, hati kecilnya terus
bertanya-tanya, “Apakah ini pertanda nasib buruk saya akan segera berakhir?”.
Pikiran-pikiran itu terus bergejolak dalam pikirannya. Tak terasa, sampailah si
Miskin di tepi Sungai Sepunjung. Ia pun duduk di dalam sampannya sambil
menunggu sesuatu yang dijanjikan si Kakek itu. Sesekali ia bermain air dan
bersiul menirukan bunyi burung yang berkicau di sekelilingnya. Wajahnya yang
tertimpa cahaya matahari pagi terlihat cerah mengharap datangnya suatu
keberuntungan.
Tak berapa lama kemudian, tiba-tiba si Miskin dikejutkan
oleh seutas tali yang muncul dari dalam suak. Tanpa pikir panjang, ditariknya
tali tersebut sekuat-kuatnya. Baru beberapa tarikan, sampailah ia pada ujung
tali itu. Si Miskin tersentak kaget ketika ia melihat suatu benda yang
berkilau-kilau ditimpa cahaya matahari. “Benar dugaanku, nasib burukku akan
segera berakhir,” gumam si Miskin dengan senangnya, ketika ia melihat di ujung
tali itu tedapat rantai emas tiga kaluk.
Tengah si Miskin menarik rantai itu, tiba-tiba dari atas
pohon yang tak jauh dari tempat itu, terdengar pico seekor murai,
“Potonglah cepat rantai itu! Hanya itu bagianmu!” Namun, si Miskin tidak
menghiraukan picoan murai itu. Ia semakin cepat menarik tali itu dengan harapan
akan mendapat rantai emas yang lebih banyak lagi. Dengan kekuatan yang
dimilikinya, ia menarik tali itu terus, terus, dan terus.... tapi apa yang
ditariknya itu semakin lama semakin terasa berat. Tiba-tiba muncul
gelembung-gelembung air dari dalam sungai. Awalnya gelembung itu kecil,
lama-kelamaan menjadi seperti gelombang. Tak dalam kemudian, terdengar suara
gemuruh dari dalam air. Tanpa disadarinya, tiba-tiba gelombang besar muncul
seperti bono dan langsung menghempas sampan si Miskin.
Tak ayal lagi, si Miskin pun terlempar keluar dari
sampan dan jatuh ke dalam air. Bersamaan dengan itu, sampannya hanyut dan
akhirnya tenggelam terbawa arus sungai. Dengan sekuat tenaga, si Miskin
berusaha berenang menuju tepi sungai melawan arus gelombang air yang besar itu.
Ketika ia sudah sampai di tepi sungai, air sungai yang tadinya bergelombang
kembali menjadi tenang seperti semula. Tapi gelembung air masih saja tampak di
permukaan sungai itu.
Setelah selamat dari hempasan gelombang besar itu, si Miskin
pun pulang ke gubuknya dengan tangan hampa. Karena kecapaian, ia pun segera
tertidur lelap. Dalam tidurnya, ia bermimpi didatangi kakek itu lagi. “Hai,
Miskin! Kamu memang tamak dan tidak pandai bersyukur. Mengapa rantai tiga kaluk
itu tidak kau ambil? Bukankah sudah kuberi tahu lewat picoan murai?” ujar kakek
itu.
“Maafkan saya Kek. Berilah saya kesempatan sekali lagi,
saya berjanji tidak akan berbuat tamak lagi,” pinta si Miskin sambil
menyembah-nyembah. “Apa boleh buat, Miskin! Kamu pantas menerima balasan itu
atas ketamakanmu,” jawab si Kakek. Sesaat setelah berkata demikian, tiba-tiba
kakek itu menghilang. Tak berapa lama, ayam jantan pun berkokok menandakan
waktu subuh tiba. Si Miskin pun terbangun dari tidurnya.
Pagi-pagi sekali, si Miskin kembali lagi ke tempat
kejadian kemarin. Ia berharap akan menemukan sesuatu di sana. Lama dia menanti
di tepian, tapi ia tidak menemukan sesuatu yang diharapkannya. Di tepian, ia
hanya duduk termangu melihat air suak itu mengubuk tak henti-hentinya.
Setiap pagi si Miskin pergi ke tempat itu, karena masih berharap akan
mendapatkan sesuatu dari sana. Namun, hanya air yang mengubuk itu yang ia
temukan. Pepatah mengatakan “Menyesal kemudian tiadalah guna. Begitulah
nasib si Miskin, ia hanya bisa menyesali ketamakannya itu.
Hingga kini, suak air yang mengubuk itu masih dapat kita
saksikan di hilir Desa Rantau Baru, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau,
Indonesia.
SELESAI
Kamus kecil :
Suak : mata air di sungai
Kaluk : lengkung
Pico : kicau
Bono : gelombang besar yang terdapat di muara sungai
Mengubuk : memunculkan gelombang air
Telaga Bidadari
Nunik
Utami
|
Dahulu
kala, ada seorang pemuda yang tampan dan gagah. Ia bernama Awang Sukma. Awang
Sukma mengembara sampai ke tengah hutan belantara. Ia tertegun melihat aneka
macam kehidupan di dalam hutan. Ia membangun sebuah rumah pohon di sebuah dahan
pohon yang sangat besar. Kehidupan di hutan rukun dan damai. Setelah lama
tinggal di hutan, Awang Sukma diangkat menjadi penguasa daerah itu dan bergelar
Datu. Sebulan sekali, Awang Sukma berkeliling daerah kekuasaannya dan sampailah
ia di sebuah telaga yang jernih dan bening. Telaga tersebut terletak di bawah
pohon yg rindang dengan buah-buahan yang banyak. Berbagai jenis burung dan
serangga hidup dengan riangnya. "Hmm, alangkah indahnya telaga ini.
Ternyata hutan ini menyimpan keindahan yang luar biasa," gumam Datu Awang
Sukma.
Keesokan harinya, ketika Datu Awang Sukma
sedang meniup serulingnya, ia mendengar suara riuh rendah di telaga. Di
sela-sela tumpukan batu yang bercelah, Datu Awang Sukma mengintip ke arah
telaga. Betapa terkejutnya Awang Sukma ketika melihat ada 7 orang gadis cantik
sedang bermain air. "Mungkinkah mereka itu para bidadari?" pikir
Awang Sukma. Tujuh gadis cantik itu tidak sadar jika mereka sedang diperhatikan
dan tidak menghiraukan selendang mereka yang digunakan untuk terbang,
bertebaran di sekitar telaga. Salah satu selendang tersebut terletak di dekat
Awang Sukma. "Wah, ini kesempatan yang baik untuk mendapatkan selendang di
pohon itu," gumam Datu Awang Sukma.
Mendengar suara dedaunan, para putri terkejut dan segera mengambil selendang masing-masing. Ketika ketujuh putri tersebut ingin terbang, ternyata ada salah seorang putri yang tidak menemukan pakaiannya. Ia telah ditinggal oleh keenam kakaknya. Saat itu Datu Awang Sukma segera keluar dari persembunyiannya. "Jangan takut tuan putri, hamba akan menolong asalkan tuan putri sudi tinggal bersama hamba," bujuk Datu Awang Sukma. Putri Bungsu masih ragu menerima uluran tangan Datu Awang Sukma. Namun karena tidak ada orang lain maka tidak ada jalan lain untuk Putri Bungsu kecuali menerima pertolongan Awang Sukma.
Datu
Awang Sukma sangat mengagumi kecantikan Putri Bungsu. Demikian juga dengan
Putri Bungsu. Ia merasa bahagia berada di dekat seorang yang tampan dan gagah
perkasa. Akhirnya mereka memutuskan untuk menjadi suami istri. Setahun kemudian
lahirlah seorang bayi perempuan yang cantik dan diberi nama Kumalasari.
Kehidupan keluarga Datu Awang Sukma sangat bahagia.
Namun,
pada suatu hari seekor ayam hitam naik ke atas lumbung dan mengais padi di atas
permukaan lumbung. Putri Bungsu berusaha mengusir ayam tersebut. Tiba-tiba
matanya tertuju pada sebuah bumbung bambu yang tergeletak di bekas kaisan ayam.
"Apa kira-kira isinya ya?" pikir Putri Bungsu. Ketika bumbung dibuka,
Putri Bungsu terkejut dan berteriak gembira. "Ini selendangku!, seru Putri
Bungsu. Selendang itu pun didekapnya erat-erat. Perasaan kesal dan jengkel
tertuju pada suaminya. Tetapi ia pun sangat sayang pada suaminya.
Akhirnya
Putri Bungsu membulatkan tekadnya untuk kembali ke kahyangan. "Kini
saatnya aku harus kembali!," katanya dalam hati. Putri Bungsu segera
mengenakan selendangnya sambil menggendong bayinya. Datu Awang Sukma terpana
melihat kejadian itu. Ia langsung mendekat dan minta maaf atas tindakan yang
tidak terpuji yaitu menyembunyikan selendang Putri Bungsu. Datu Awang Sukma
menyadari bahwa perpisahan tidak bisa dielakkan. "Kanda, dinda mohon
peliharalah Kumalasari dengan baik," kata Putri Bungsu kepada Datu Awang
Sukma." Pandangan Datu Awang Sukma menerawang kosong ke angkasa.
"Jika anak kita merindukan dinda, ambillah tujuh biji kemiri, dan masukkan
ke dalam bakul yang digoncang-goncangkan dan iringilah dengan lantunan
seruling. Pasti dinda akan segera datang menemuinya," ujar Putri Bungsu.
Putri
Bungsu segera mengenakan selendangnya dan seketika terbang ke kahyangan. Datu
Awang Sukma menap sedih dan bersumpah untuk melarang anak keturunannya
memelihara ayam hitam yang dia anggap membawa malapetaka.
Zaman dahulu kala, di Jepang tinggalah
sepasang kakek dan nenek. Kakek adalah seorang yang sangat baik hati dan
pekerja keras. Sebaliknya nenek adalah seorang penggerutu dan senang mencaci
maki, sikapnya juga kasar dan buruk. Itulah sebabnya kakek lebih suka
menghabiskan waktunya dengan bekerja di ladang dari pagi hingga petang. Mereka
tidak dikaruniai anak, tapi kakek memiliki seekor burung pipit yang selalu
menghiburnya. Dia sangat cantik dan diberi nama Suzume. Kakek sangat
menyayanginya. Setiap petang sepulangnya dari ladang, kakek akan membuka
kandang Suzume, membiarkannya terbang di dalam rumah, lalu mengajaknya bermain,
berbicara, dan mengajarinya trik-trik yang dengan cepat dipelajarinya.
Suatu hari, saat kakek pergi bekerja,
nenek mulai membereskan rumah. Kemarin nenek sudah menyiapkan bubur tepung
beras untuk melicinkan pakaian yang sudah dicuci. Bubur itu disimpannya di atas
meja. Tapi kini mangkuk buburnya telah kosong. Rupanya kakek lupa menutup
kandang Suzume, sehingga dia terbang di sepanjang rumah dan memakan bubur
tepung beras nenek. Saat si nenek kebingungan mencari siapa yang menghabiskan
buburnya, Suzume terbang menghampiri nenek. Dia membungkuk memberi hormat lalu
kicaunya:
“Sayalah yang memakan bubur tepung
beras nenek. Saya pikir itu adalah makanan untukku. Saya mohon maafkanlah saya.
Twit! Twit! Twit!”
Nenek sangat marah mendengar pengakuan
si burung pipit. Memang nenek tidak pernah menyukai Suzume. Baginya keberadaan
Suzume hanya mengotori rumah saja. Ini adalah kesempatan si nenek untuk
melampiaskan kemarahannya. Maka keluarlah cacian dari mulut nenek. Tidak cukup
sampai disitu nenek yang kalap merenggut Suzume yang malang dan memotong
lidahnya hingga putus.
“Ini adalah pelajaran buatmu!” kata
nenek, “karena dengan lidah ini kamu memakan bubur tepung berasku! Sekarang
pergilah dari sini! Aku tak mau melihatmu lagi!”
Suzume hanya bisa menangis menahan
sakit, dan terbang jauh ke arah hutan.
Sore harinya kakek pulang dari ladang.
Seperti biasa kakek menghampiri kandang Suzume untuk mengajaknya bermain. Tapi
ternyata kandang itu sudah kosong. Dicarinya Suzume di sekeliling rumah dan
dipangilnya, namun Suzume tidak juga muncul. Kakek merasa yakin bahwa neneklah
yang telah membuat Suzume pergi. Maka kakek pun menghampiri nenek dan bertanya:
“Kemana Suzume? Kau pasti tahu dimana
dia.” “Burung pipitmu?” kata nenek, “Aku tidak tahu dimana dia. Aku tidak
melihatnya sepanjang hari ini. Oh, mungkin dia jenis burung yang tidak tahu
berterima kasih. Makanya dia kabur dan tak ingin kembali meskipun kau sangat
menyayanginya.”
Kakek tentu saja tidak percaya dengan
perkataan nenek. Dia memaksanya untuk berbicara jujur. Akhirnya nenek mengaku
telah mengusir Suzume dan memotong lidahnya.
Itu hukuman karena dia telah berbuat
nakal” kata nenek.
“Kenapa kau begitu kejam?” kata kakek.
Dia sebenarnya sangat marah, tapi dia terlalu baik untuk menghukum istrinya
yang kejam. Namun dia tidak bisa berhenti mengkhawatirkan Suzume yang pasti
sangat menderita.
“Betapa malangnya Suzume. Dia pasti
kesakitan. Dan tanpa lidahnya dia mungkin tidak bisa berkicau lagi,” pikir
kakek.
Dia bertekad untuk mencari Suzume sampai ketemu besok pagi.
Esoknya, pagi-pagi sekali kakek sudah
berkemas dan bersiap pergi untuk mencari Suzume. Dia pergi ke bukit lalu ke
dalam hutan. Di setiap rumpunan bambu yang ditemuinya, dia akan berhenti dan
mulai memanggilnya:
"Dimana
oh dimana burung pipitku yang malang,
Dimana oh dimana burung pipitku yang
malang"
Kakek terus mencari Suzume tanpa kenal
lelah. Dia bahkan lupa kalau perutnya belum diisi sejak pagi. Sore harinya,
sampailah kakek di rumpunan bambu yang rimbun. Dia pun mulai memanggil lagi:
"Dimana
oh dimana burung pipitku yang malang,
Dimana oh dimana burung pipitku yang
malang"
Dari rimbunan bambu tersebut,
keluarlah Suzume. Dia membungkukan kepalanya, memberi hormat pada kakek. Kakek
senang sekali bisa menemukan Suzume, apalagi ternyata lidah Suzume telah tumbuh
lagi sehingga dia tetap bisa berkicau. Suzume mengajak kakek untuk mampir ke
rumahnya. Ternyata Suzume memiliki keluarga dan mereka tinggal di sebuah rumah
seperti layaknya manusia.
“Suzume pasti bukan burung biasa,”
pikir kakek.
Kakek mengikuti Suzume memasuki rumpunan bambu. Rumah suzume ternyata sangat indah. Dindingnya terbuat dari bambu berwarna putih cerah. Karpetnya sangat lembut, bantal yang didudukinya sangat empuk dan dilapisi sutra yang sangat halus. Ruangannya sangat luas dan dihiasi ornamen-ornamen yang cantik. Kakek disuguhi berbagai makanan dan minuman yang sangat lezat, juga tarian burung pipit yang sangat menakjubkan. Kakek juga diperkenalkan kepada seluruh anggota keluarga Suzume. Mereka semua sangat berterima kasih pada kakek yang telah merawat Suzume dengan baik. Sebaliknya kakek pun memohon maaf atas perlakuan istrinya yang kejam terhadap Suzume.
Kakek mengikuti Suzume memasuki rumpunan bambu. Rumah suzume ternyata sangat indah. Dindingnya terbuat dari bambu berwarna putih cerah. Karpetnya sangat lembut, bantal yang didudukinya sangat empuk dan dilapisi sutra yang sangat halus. Ruangannya sangat luas dan dihiasi ornamen-ornamen yang cantik. Kakek disuguhi berbagai makanan dan minuman yang sangat lezat, juga tarian burung pipit yang sangat menakjubkan. Kakek juga diperkenalkan kepada seluruh anggota keluarga Suzume. Mereka semua sangat berterima kasih pada kakek yang telah merawat Suzume dengan baik. Sebaliknya kakek pun memohon maaf atas perlakuan istrinya yang kejam terhadap Suzume.
Waktu berlalu tanpa terasa. Malam pun
semakin larut. Akhirnya kakek meminta diri dan berterima kasih atas sambutan
keluarga Suzume yang hangat. Suzume memohon supaya kakek menginap satu atau dua
malam, namun kakek bersikeras untuk pulang karena pasti nenek kebingungan mencarinya.
Kakek berjanji akan sering-sering menunjungi suzume lain waktu. Sebelum pulang
Suzume memaksa kakek untuk memilih kotak hadiah untuk dibawanya pulang. Ada dua
buah kotak yang ditawarkan. Satu kecil dan satu lagi besar. Kakek memilih kotak
kecil.
“Aku sudah tua dan lemah,” katanya.
“Aku tidak akan kuat jika harus membawa kotak yang besar.”
Suzume dan keluarganya mengantarkan
kakek sampai keluar dari rumpunan bambu dan sekali lagi membungkukan kepalanya
memberi hormat.
Setibanya di rumah, nenek langsung mencecarnya:
“Kemana saja seharian? Kenapa begitu
malam baru pulang?” tanyanya.
Kakek mencoba menenangkannya dan
memperlihatkan kotak yang didapatnya dari Suzume. Kakek juga menceritakan
pertemuannya dengan Suzume.
“Baiklah!” kata nenek. “Sekarang cepat
buka kotak itu! Kita lihat apa isinya.” Maka mereka lalu membuka kotak itu
bersama-sama. Betapa terkejutnya mereka, ternyata kotak itu penuh berisi uang
emas, perak dan perhiasan-perhiasan yang sangat indah. Kakek mengucap syukur
berkali-kali atas anugrah itu. Tapi nenek yang serakah malah memarahi kakek
karena tidak memilih kotak yang besar.
“Kalau kotak yang kecil saja isinya
bisa sebayak ini apalagi kotak yang besar,” teriaknya.
Esok paginya setelah memaksa kakek
untuk menunjukkan jalan ke tempat Suzume, nenek pergi dengan penuh semangat. Kakek mencoba melarangnya, namun sia-sia
saja. Setelah melewati bukit dan masuk ke dalam hutan, sampailah si nenek di
tepi rimbunan bambu, maka dia pun mulai memanggil:
“Dimana oh dimana burung pipitku yang
malang, Dimana oh dimana burung pipitku yang malang”
Suzume pun keluar dari rimbunan bambu
dan membungkukan kepalanya ke arah nenek. Tanpa membuang waktu dan tanpa malu
nenek berkata:
“Saya tidak akan membuang waktumu. Aku
datang kesini hanya untuk meminta kotak yang kemarin ditolak oleh kakek.
Setelah itu aku akan pergi.”
Suzume memberikan kotak yang diminta,
dan tanpa mengucapkan terima kasih, nenek segera meninggalkan tempat itu.
Kotak itu sangat berat. Dengan
terseok-seok nenek memanggulnya. Semakin lama kotak itu semakin berat,
seolah-olah berisi ribuan batu. “Kotak ini pasti berisi harta karun yang sangat
banyak,” pikir nenek. Dia sudah tidak sabar ingin mengetahui isi kotak tersebut.
Maka dia menurunkan kotak itu dari punggungnya dan lalu membukanya. Wush!!!
Dari dalam kotak itu keluar ribuan makhluk yang menyeramkan dan mengejar nenek
yang langsung lari terbirit-birit. Beruntung nenek bisa sampai di rumahnya
meski jantungnya serasa mau putus. Kepada kakek dia menceritakan apa yang
dialaminya.
“Itulah hukuman bagi orang yang
serakah,” kata kakek. “Semoga ini menjadi pelajaran buatmu.”
Sejak saat itu nenek tidak pernah lagi
mengeluarkan kata-kata kasar dan selalu berlaku baik pada orang lain. Dan
mereka berdua hidup bahagia selamanya.
DAFTAR PUSTAKA
Utami,Ninik.2010.Dongeng Negri 1001 Malam.Jakarta
Setyorini,Wahyu.Dongeng Anak.IMAGE PRESS
Tsuraya,Aliyah.2010.Dongeng 1001
Malam.Jakarta Selatan. Qoltummedia.
http://jagungtitiku.blogspot.com/2011/03/dongeng-angin-barat-dan-angin-timur.html
http://cicykasih.wordpress.com/2008/07/17/keong-mas/
http://www.pendongeng.com/dongeng-mancanegara/16-burung-pipit-berlidah-pendek.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar